Hari sudah menjelang sore, ketika Dahlan tiba di kantor Jawa Pos Jakarta, 15 tahun lalu. “Ikut saya ke Bogor, sekarang,” kata Dahlan seperti terburu-buru. “Tapi, tidak ada mobil yang bagus, Pak Bos” jawab saya. “Hanya ada ini,”lanjut saya sembari menunjuk sebuah mobil sedan Ford Laser keluaran tahun 1991.
“Mobil siapa?” tanya Dahlan. “Mobil saya, baru beli dari Pak Bertho Riyadi,wartawan Jawa Pos. Ini bekas Taksi Bluebird,” jawab saya. “Gak apa-apa.Kita ke Bogor, sekarang,” tegas Dahlan sembari berjalan menuju mobil saya.Menjelang magrib, sampailah kami di Bogor. “Kita ke mana?” tanya saya.“Putar-putar saja sepanjang jalan di kota Bogor. Kita cari lokasi perumahan, lokasi terminal, stasiun, istana, sampai kampus IPB,” kata Dahlan.
“Mobil siapa?” tanya Dahlan. “Mobil saya, baru beli dari Pak Bertho Riyadi,wartawan Jawa Pos. Ini bekas Taksi Bluebird,” jawab saya. “Gak apa-apa.Kita ke Bogor, sekarang,” tegas Dahlan sembari berjalan menuju mobil saya.Menjelang magrib, sampailah kami di Bogor. “Kita ke mana?” tanya saya.“Putar-putar saja sepanjang jalan di kota Bogor. Kita cari lokasi perumahan, lokasi terminal, stasiun, istana, sampai kampus IPB,” kata Dahlan.
Saya menurut saja. Sementara Dahlan tidak menjelaskan apa tujuannya berputar-putar di kota Bogor.Waktu beranjak malam. Perut sudah mulai keroncongan. Cacing-cacingnya sudah protes minta makan, mirip para demonstran bayaran yang ketika sudah kepanasan tiba-tiba berteriak, “Makan….makan…” “Tidak makan dulu, Pak Bos,” pancing saya. “Boleh. Seingat saya ada warung
Sunda yang enak di daerah menuju Tajur. Tapi saya lupa-lupa ingat. Coba kita cari jalan ke sana,” kata Dahlan.
Kembali kami menyusuri jalanan kota Bogor di tengah hujan rintik-rintik. Sambil jalan perlahan, mata saya jelalatan mencari-cari rumah makan Sunda di kiri dan kanan jalan.Beberapa kali ketemu restoran Sunda, tetapi Dahlan minta restoran yang dikawasan Tajur itu. Konon, masakannya istimewa. Celakanya, Dahlan lupa nama restorannya dan lupa lokasinya. Dia hanya ingat, ada dua payung berdiri di pintu masuk restoran! Alamaak...
Tajur lewat. Restoran Sunda itu tak ketemu juga. Kami berbalik arah.Mungkin tidak terlihat karena terhalang hujan yang makin deras. Tidak ketemu juga.Malam makin larut, Dahlan akhirnya juga menyerah. “Kita berhenti makan di warung Padang apa saja yang pertama kita temui,” kata Dahlan.
Saya lihat jam, sudah pukul 22.30. Untuk kota sekecil Bogor saat itu, sudah sulit menemukan warung Padang yang masih buka. Apalagi, saya sangat jarang ke Bogor. Tidak hafal jalan dan warung makan yang buka hingga larut malam.Sambil terus berjalan, ketemu juga sebuah warung Padang kecil. Betul-betul warung kecil, bukan restoran. Pelayan sedang membersihkan meja, karena mau tutup. Kami berhenti dan makan malam di situ.Karena sudah malam, menu masakan Padang sudah terbatas. Tinggal terong goreng dengan sambal yang super pedas. Daging ayam pun tinggal 1 potong dan kerupuk rambak. “Ayamnya dibagi dua saja,” pinta Dahlan kepada pelayan warung.“Kita akan bikin koran di Bogor,” kata Dahlan, membuka percakapan, yang membuat saya terkejut. “Gak salah Pak Bos?” tanya saya. “Tidak salah. Kitasegera bikin koran di Bogor,” jawab Dahlan pelan, tapi tegas. Ekspresi wajahnya begitu yakin, kalau korannya bakal sukses.
“Kawan saya sedang meriset potensi usaha media cetak di kota Bogor,” jelas saya. “Dia mau bikin koran di Bogor?” sahut Dahlan. “Tidak. Teman saya konsultan dari sebuah universitas. Dia menerima permintaan seorang pengusaha di Jakarta,” jawab saya.“Hasil risetnya bagaimana?” tanya Dahlan. “Katanya butuh satu bulan lagi untuk menyelesaikan riset itu menjadi laporan,” jawab saya.
Dahlan manggut-manggut. Dahinya berkerut-kerut, seakan sedang berpikir keras. “Konsultan itu pernah punya bisnis koran?” kejar Dahlan. “Tidak, teman saya hanya dosen,” jawab saya.“Saya juga sudah melakukan riset untuk Bogor. Hasilnya sudah ada. Potensi Bogor cukup kuat,” kata Dahlan mantap. “Kapan risetnya, Pak Bos?” tanya saya dengan penasaran. “Dari sore kita kan keliling Bogor. Sekarang pun masih di Bogor. Ini kita sedang riset,” jelas Dahlan dengan nada serius.
Sunda yang enak di daerah menuju Tajur. Tapi saya lupa-lupa ingat. Coba kita cari jalan ke sana,” kata Dahlan.
Kembali kami menyusuri jalanan kota Bogor di tengah hujan rintik-rintik. Sambil jalan perlahan, mata saya jelalatan mencari-cari rumah makan Sunda di kiri dan kanan jalan.Beberapa kali ketemu restoran Sunda, tetapi Dahlan minta restoran yang dikawasan Tajur itu. Konon, masakannya istimewa. Celakanya, Dahlan lupa nama restorannya dan lupa lokasinya. Dia hanya ingat, ada dua payung berdiri di pintu masuk restoran! Alamaak...
Tajur lewat. Restoran Sunda itu tak ketemu juga. Kami berbalik arah.Mungkin tidak terlihat karena terhalang hujan yang makin deras. Tidak ketemu juga.Malam makin larut, Dahlan akhirnya juga menyerah. “Kita berhenti makan di warung Padang apa saja yang pertama kita temui,” kata Dahlan.
Saya lihat jam, sudah pukul 22.30. Untuk kota sekecil Bogor saat itu, sudah sulit menemukan warung Padang yang masih buka. Apalagi, saya sangat jarang ke Bogor. Tidak hafal jalan dan warung makan yang buka hingga larut malam.Sambil terus berjalan, ketemu juga sebuah warung Padang kecil. Betul-betul warung kecil, bukan restoran. Pelayan sedang membersihkan meja, karena mau tutup. Kami berhenti dan makan malam di situ.Karena sudah malam, menu masakan Padang sudah terbatas. Tinggal terong goreng dengan sambal yang super pedas. Daging ayam pun tinggal 1 potong dan kerupuk rambak. “Ayamnya dibagi dua saja,” pinta Dahlan kepada pelayan warung.“Kita akan bikin koran di Bogor,” kata Dahlan, membuka percakapan, yang membuat saya terkejut. “Gak salah Pak Bos?” tanya saya. “Tidak salah. Kitasegera bikin koran di Bogor,” jawab Dahlan pelan, tapi tegas. Ekspresi wajahnya begitu yakin, kalau korannya bakal sukses.
“Kawan saya sedang meriset potensi usaha media cetak di kota Bogor,” jelas saya. “Dia mau bikin koran di Bogor?” sahut Dahlan. “Tidak. Teman saya konsultan dari sebuah universitas. Dia menerima permintaan seorang pengusaha di Jakarta,” jawab saya.“Hasil risetnya bagaimana?” tanya Dahlan. “Katanya butuh satu bulan lagi untuk menyelesaikan riset itu menjadi laporan,” jawab saya.
Dahlan manggut-manggut. Dahinya berkerut-kerut, seakan sedang berpikir keras. “Konsultan itu pernah punya bisnis koran?” kejar Dahlan. “Tidak, teman saya hanya dosen,” jawab saya.“Saya juga sudah melakukan riset untuk Bogor. Hasilnya sudah ada. Potensi Bogor cukup kuat,” kata Dahlan mantap. “Kapan risetnya, Pak Bos?” tanya saya dengan penasaran. “Dari sore kita kan keliling Bogor. Sekarang pun masih di Bogor. Ini kita sedang riset,” jelas Dahlan dengan nada serius.
“Anda tadi lihat ada ATM BCA nggak waktu keliling?” tanya Dahlan. “Ada.Kalau gak salah ada dua atau tiga ATM BCA deh,” jawab saya.“Karena Anda sudah lihat ada ATM BCA, maka hasil risetnya selesai.Kesimpulannya, Bogor layak untuk menerbitkan koran,” kata Dahlan sambil tersenyum.
Saya benar-benar bingung dengan ucapan Dahlan. Apa hubungan antara ATM BCA dengan prospek bisnis koran.
“Begini. BCA itu bank swasta. Untuk membuka cabang, dia perlu izin ke otoritas dan investasi sistem serta SDM yang tidak murah. BCA pasti tidak mau rugi. Maka BCA pasti sudah melakukan riset di Bogor. Kalau BCA berani buka cabang, berarti potensinya besar. Kita pakai kesimpulan orang-orang
BCA saja,” jelas Dahlan.
“Daripada kita menyewa konsultan yang belum pernah menerbitkan koran, lebih baik kita langsung menerbitkan koran saja. Kalau gagal, anggap saja hasil risetnya adalah, Bogor belum layak memiliki koran sendiri,” ujar Dahlan sembari tertawa.
“Dalam waktu segera, koran Bogor sudah harus terbit. Alfian Mudjani yang akan memimpin koran ini,” kata Dahlan.
Diskusi selesai. Keputusan sudah bulat. Koran Bogor harus segera terbit. Bergegas kami pulang ke Jakarta.Di rest area Tol Jagorawi, saya minta izin berhenti mencari toilet. “Wah,kebetulan,” kata Dahlan.Sambal di warung Padang itu memang kelewat pedas, untuk perut yang terlambat kemasukan makanan.
Joko Intarto, sebuah pengalaman pribadi
Saya benar-benar bingung dengan ucapan Dahlan. Apa hubungan antara ATM BCA dengan prospek bisnis koran.
“Begini. BCA itu bank swasta. Untuk membuka cabang, dia perlu izin ke otoritas dan investasi sistem serta SDM yang tidak murah. BCA pasti tidak mau rugi. Maka BCA pasti sudah melakukan riset di Bogor. Kalau BCA berani buka cabang, berarti potensinya besar. Kita pakai kesimpulan orang-orang
BCA saja,” jelas Dahlan.
“Daripada kita menyewa konsultan yang belum pernah menerbitkan koran, lebih baik kita langsung menerbitkan koran saja. Kalau gagal, anggap saja hasil risetnya adalah, Bogor belum layak memiliki koran sendiri,” ujar Dahlan sembari tertawa.
“Dalam waktu segera, koran Bogor sudah harus terbit. Alfian Mudjani yang akan memimpin koran ini,” kata Dahlan.
Diskusi selesai. Keputusan sudah bulat. Koran Bogor harus segera terbit. Bergegas kami pulang ke Jakarta.Di rest area Tol Jagorawi, saya minta izin berhenti mencari toilet. “Wah,kebetulan,” kata Dahlan.Sambal di warung Padang itu memang kelewat pedas, untuk perut yang terlambat kemasukan makanan.
Joko Intarto, sebuah pengalaman pribadi