Gambaran permasalahan Kamu pasti memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan, tetangga, teman, dan juga negaramu. Pilih satu permasalahan yang paling dekat denganmu dan menjadi perhatianmu saat ini, dan jelaskan mengapa hal itu penting.
“………. Duh si adik, dari pagi, siang, sampai sore, main Angry Birds terus, sampai lupa belajar, mandi , ngaji bahkan makan. Kalau sudah nge-game, enggak mau berhenti!”
“………. Ini warnet kok sekarang jadi tambah ramai ya, lebih dominan anak SD dan SMP nya, bahkan sekarang papan namanya sudah ditambah “FantasiaNet – browsing and Game Center 24 Hours”
Ada perasaan gemas,miris sekaligus khawatir melihat anak-anak dan remaja berjubel di game center,beberapa bahkan rela begadang.Pernah tidak kita mengalami hal seperti itu ? atau jangan-jangan kita sendirilah yang menjadi objek kalimat diatas ?
Ditahun 1999 dua orang pelajar Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (19) membunuh 13 orang (24 terluka) di Columbine High School, mereka selanjutnya bunuh diri sebagai ekspresi pembebasan dari jiwa –jiwa yang terkekang.kecemasan-kecemasan seperti diatas bisa saja berujung salah satunya dengan berita terbaru ini yaitu ketika seorang mahasiswa di Colorado yang menganggap dirinya “The Joker” menembaki penonton di bioskop saat pemutaran perdana film Batman, “The Dark Night Rises”. Mahasiswa bernama James Holmes ini melemparkan bom asap ke dalam studio lalu memulai aksinya. Dengan kostum mirip pasukan Counter-Terrorist, dia mulai menembaki penonton dengan senapan semi otomatis, seperti sedang bermain video game.
Ah, itu kan diluar negeri, dinegara kita aman-aman saja kok ?!! “
Yakin ??, Masih ingat kasus smackdown yang banyak meremukkan anak-anak Indonesia ? atau yang terbaru, seorang mahasiswa merampok minimarket karena terinspirasi game Point Blank ? adalah Korea dan Jepang yang mempunyai banyak konsol game kenamaan sekaligus menjadi negara dengan angka tertinggi dalam kematian akibat bermain game,bahkan diYoutube ada video seorang gamers yang meninggal setelah 2-3 hari tidak makan akibat “keasyikan” nge-game. jadi point awal kita yang perlu disepakati dahulu bahwa fakta video game telah banyak memakan korban jiwa.. kita tentu tak ingin hal ini terjadi pada buah hati dan anak-anak disekeliling kita yang lain. Video game yang semula berfungsi sebagai pembunuh kejenuhan, kini berubah menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan mental anak.
Game komputer khususnya game online seperti halnya hasil teknologi lainnya yang selalu mempunyai 2 sisi mata koin , dapat menyenangkan sekaligus mengkhawatirkan penggunanya. Game diklaim dapat menimbulkan kecanduan!!
`Hal tersebut diungkap dalam sebuah jurnal ilmiah karya Smith Simon Egenfeldt-Nielsen Sdan Jonas Heide Smith. 2003. GAME RESEARCH: The Art, Science, and Business of Computer Games. Copenhagen: Report for The Media Council for Chilren and Young People. Yang bisa dianggap sebagai klaim umum dari pengkritik media. Analisis ini menampilkan laporan ilmiah para ahli psikologi dan sosial tentang dampak bermain game “ apakah menimbulkan kecanduan atau tidak ” didasari oleh subjek studi tentang pathological gambling, Internet addiction, psikologi, dan diagnosa psikiater.
Gejala mengenai permasalahan ini sebenarnya sudah dikemukakan sejak lama, tetapi baru pada tengah 1990-an, saat game online mulai berkembang, hal tersebut mulai dikaji serius. Mark Griffiths, seorang psikologi dari Inggris mengatakan bahwa kecanduan hanya dialami oleh sebagian kecil pemain. Ada banyak orang yang bermain game melebihi batas normal, namun mereka tidak kecanduan. Lagipula untuk memvonis seseorang kecanduan game atau tidak perlu dilihat dengan batasan-batasan berikut (dikemukakan oleh Griffiths dan Davies) :
1. Salience, saat game komputer mendominasi kehidupan seseorang.
2. Mood modification, pengalaman bermain mempengaruhi emosi pemain.
3.Tolerance, pemain membutuhkan waktu bermain lebih banyak dari normal untuk mencapai kepuasan.
4.Withdrawal symptoms, pemain mengalami ketidakstabilan emosi saat dia berhenti bermain.
5. Conflict, pemain mengalami konflik dengan lingkungan sekitar dan diri pribadi.
6. Relapse, pemain kembali ke pola permainan sebelumnya, bahkan ketika dia tidak bermain lagi dalam jangka waktu lama.
Pada tahun 1998 Griffiths dan Hunt mengkaji aspek-aspek di atas pada sekelompok gamers. Mereka menemukan bahwa 19,9% ciri-ciri di atas saling berkaitan satu sama lain. Jadi apabila seseorang mengalami salah satu ciri di atas dapat dipastikan dia juga mengalami ciri lainnya.Dua ahli ini menyatakan bahwa seseorang yang bermain game lebih dari 30 jam per minggu perlu diwaspadai kemungkinan kecanduan game.
Telah dikemukakan indikasi mengenai kecanduan bermain game. Hasil studi Griffiths mengklaim bahwa 7 % gamer mengalami kecanduan.meski riset ini sangat terbatas dan definisi tentang kecanduan itu sendiri tidak konsisten. Walaupun tampaknya kontroversial, bermain game tidak selalu menimbulkan kecanduan meskipun dilakukan dalam waktu lama dan tetap.
Dengan menggunakan enam kriteria seseorang kecanduan game diatas, pemain game diharapkan dapat menentukan sendiri batas kewajaran bermain game. Kegiatan seimbang antara bermain game dan bersosialisasi dapat mengurangi dampak kecanduan.
Pakar Psikologi menyebutkan, selain faktor tekanan lingkungan, video games-lah yang bertanggung jawab atas sifat agresif mereka! Bahkan, beberapa video games tertentu secara signifikan mempengaruhi agresifitas anak.
Ironisnya anak-anak usia 2-11 tahun memiliki akses 71% terhadap video games. berdasarkan penelitian Psychological Science (2010) seperti dikutip Vivanews (12/5/2010) menyatakan bahwa video games membuat kemampuan berfikir anak-anak merosot. Bahkan, beberapa video games tertentu secara signifikan memengaruhi agresifitas anak.
Masalah lain muncul, ketika kita menengok game center, kebanyakan para penikmat Point Blank, Cross Fire, Counter S trike, World of Warcraft, Call of Duty, dll ternyata anak-anak (kebanyakan usia SD). Tentu kita semua tak ingin mereka menjadi James Holmes,Eric dan Dylan berikutnya bukan?
Sejak awal kemunculannya video game pun sudah merebut banyak hati orang, terutama anak-anak dan remaja. Video game dengan berbagai tantangan dan visualisasi yang menarik, dapat memuaskan rasa imajinasi anak-anak yang sedang memuncak. Hal ini ditunjang dengan makin mudah dan murahnya mengakses video game. Memainkan video game sejak beberapa dekade yang lalu memang sudah menjadi gaya hidup bagi banyak anak,remaja bahkan orang dewasa . ya iyalah, dulunya mereka juga anak-anak ( baca= kurang optimal kebahagiaannya sewaktu kecil) jangan tersinggung ya.. =D
Permainan dalam video game, perlahan tapi pasti mampu merebut permainan fisik di dunia nyata. Anak-anak modern banyak yang lebih jago “memainkan bola” di lapangan hijau dalam game daripada memainkan sepakbola secara nyata. Kemahiran ini tentu memuaskan impian anak-anak untuk menjadi pemain sepakbola handal, tanpa mengeluarkan keringat. Video game sudah menjadi sarana pemuasan penting bagi banyak anak.
Karena memiliki gambar yang menarik serta menyuguhkan banyak tantangan. Anak-anak akan puas dan merasa tertantang untuk menyelesaikannya. Lambat laun, hal ini akan membuat durasi seorang anak memainkan video game, semakin lama. Apalagi jika dia memainkan video game yang tidak ada tamatnya. Dunia video game bisa-bisa menggantikan dunia nyata dari pengguna yang sudah kecanduan, tak heran bila ada ungkapan “video game addiction tak jauh beda dengan ganja “. Mau tidak mau, dengan paparan yang lama, video game akan memberi pengaruh yang tidak sedikit bagi penggunanya.
Para developer konsol-konsol game bersaing dengan merancang agar terus menarik dan fun, sehingga penggunanya ingin terus memainkannya. Mencapai skor tertinggi dan mengalahkan skor orang lain adalah salah satu sebab para gamers ingin bermain terus hingga lupa waktu. Alam bawah sadar yang terpuaskan kesenangannya ini bisa menginspirasi ( baca= mensugesti) pemiliknya untuk bertindak sesuatu.
“Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah permainannya, namun ketidakmampuan anak /gamers untuk menyeimbangkan kebiasaan bermain dengan aktivitas lain dalam hidupnya,” sebuah kalimat bagus dari Psikolog Athalia Sunaryo MPsi Psi,
Dalam dunia permainan, anak bisa menjadi siapa saja. Bahkan, saat nge-game, kadang pemainnya “perlu” bertindak agresif secara aktif. Misal, pada permainan berjenis “agak keras” di mana anak bisa melakukan perang-perangan atau pukul-pukulan yang nanti akan mendapatkan reward saat dia melakukan tindakan kekerasan. Reward ini berupa skor besar, suara tepuk tangan, tulisan tertentu di layar. (menembak, memukul, menendang, dan lain-lain), agar mendapat skor tinggi atau menang.
Artinya, tak menutup kemungkinan anak pemalu sekali pun berubah menjadi berani untuk bertindak agresif saat sedang bermain.“Dikhawatirkan jika terlalu sering anak terpapar pada adegan ataupun mendapat kesenangan dari game semacam itu, dapat meningkatkan pemikiran, perasaan, dan perilaku agresif pada anak.
Anak-anak memiliki kecenderungan untuk menirukan peran-peran dari apa yang ia dapatkan. Hal ini disebabkan karena anak-anak belum memiliki peran yang pasti , jati diri mereka belum terbentuk. sehingga mereka menyerap nilai dan norma (significant other) yang ia lihat seperti halnya ketika ia bermain video game. Hal tersebut diungkap George Herbert Mead (1930) dalam Mind, Self, and Society
Sudah sejak dahulu kala pun,redaksional Tuhan telah memfirmankan akan hal ini dalam Al Qur’an surat An Nisa’ : 9
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar
Ujung dari trouble eksplore ini akan mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan, apa dan bagaimana yang perlu dibenahi, regulator? Pastilah sudah ada aturan yang memastikan distribusi dan penggunaan video game. Lagipula, tiap developer video game telah melabeli produk mereka dengan ratting. Lantas, mengapa Point Blank dan Counter Strike yang berlabel Mature digemari anak-anak ???
Masalah kian ‘akut’ ketika para para pendidik (guru, orang tua) acuh tak acuh terhadap keadaan seperti itu. Sikap tersebut sedikitnya dipengaruhi oleh dua faktor; kultural dan struktural. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang video games beserta dampak-dampaknya merupakan masalah kultural. Sedangkan di tataran struktural adalah tidak adanya lembaga formal yang mampu mengakomodasi permasalahan yang ditimbulkan oleh video games.
Ketika kita menemukan tayangan yang bermasalah pada acara televisi, maka kita akan menghubungi KPI selaku regulator yang sah. Tapi, ketika kita menjumpai video game yang bermasalah atau anak-anak yang kecanduan video games, kita tidak tahu akan mengadu kepada siapa ?
Merasa tak dilarang mereka asyik ‘bunuh-bunuhan’. Kemana sistem pendidikan kita? Dimana para pendidik –para guru, orang tua? Jangan-jangan kesadaran itu belum muncul, kesadaran bermedia yang sehat. Cukupkah kita sambil bergumam, “ Ah,yang penting anak-anak disekelilingku aman-aman saja “ ???
Kategori permasalahan Pilih kategori yang paling sesuai dengan permasalahan yang kamu jelaskan diatas. Kamu bisa memilih lebih dari satu.
Me (personal wellbeing)
We ( Community wellbeing )
The World ( The earth wellbeing
“………. Duh si adik, dari pagi, siang, sampai sore, main Angry Birds terus, sampai lupa belajar, mandi , ngaji bahkan makan. Kalau sudah nge-game, enggak mau berhenti!”
“………. Ini warnet kok sekarang jadi tambah ramai ya, lebih dominan anak SD dan SMP nya, bahkan sekarang papan namanya sudah ditambah “FantasiaNet – browsing and Game Center 24 Hours”
Ada perasaan gemas,miris sekaligus khawatir melihat anak-anak dan remaja berjubel di game center,beberapa bahkan rela begadang.Pernah tidak kita mengalami hal seperti itu ? atau jangan-jangan kita sendirilah yang menjadi objek kalimat diatas ?
Ditahun 1999 dua orang pelajar Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (19) membunuh 13 orang (24 terluka) di Columbine High School, mereka selanjutnya bunuh diri sebagai ekspresi pembebasan dari jiwa –jiwa yang terkekang.kecemasan-kecemasan seperti diatas bisa saja berujung salah satunya dengan berita terbaru ini yaitu ketika seorang mahasiswa di Colorado yang menganggap dirinya “The Joker” menembaki penonton di bioskop saat pemutaran perdana film Batman, “The Dark Night Rises”. Mahasiswa bernama James Holmes ini melemparkan bom asap ke dalam studio lalu memulai aksinya. Dengan kostum mirip pasukan Counter-Terrorist, dia mulai menembaki penonton dengan senapan semi otomatis, seperti sedang bermain video game.
Ah, itu kan diluar negeri, dinegara kita aman-aman saja kok ?!! “
Yakin ??, Masih ingat kasus smackdown yang banyak meremukkan anak-anak Indonesia ? atau yang terbaru, seorang mahasiswa merampok minimarket karena terinspirasi game Point Blank ? adalah Korea dan Jepang yang mempunyai banyak konsol game kenamaan sekaligus menjadi negara dengan angka tertinggi dalam kematian akibat bermain game,bahkan diYoutube ada video seorang gamers yang meninggal setelah 2-3 hari tidak makan akibat “keasyikan” nge-game. jadi point awal kita yang perlu disepakati dahulu bahwa fakta video game telah banyak memakan korban jiwa.. kita tentu tak ingin hal ini terjadi pada buah hati dan anak-anak disekeliling kita yang lain. Video game yang semula berfungsi sebagai pembunuh kejenuhan, kini berubah menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan mental anak.
Game komputer khususnya game online seperti halnya hasil teknologi lainnya yang selalu mempunyai 2 sisi mata koin , dapat menyenangkan sekaligus mengkhawatirkan penggunanya. Game diklaim dapat menimbulkan kecanduan!!
`Hal tersebut diungkap dalam sebuah jurnal ilmiah karya Smith Simon Egenfeldt-Nielsen Sdan Jonas Heide Smith. 2003. GAME RESEARCH: The Art, Science, and Business of Computer Games. Copenhagen: Report for The Media Council for Chilren and Young People. Yang bisa dianggap sebagai klaim umum dari pengkritik media. Analisis ini menampilkan laporan ilmiah para ahli psikologi dan sosial tentang dampak bermain game “ apakah menimbulkan kecanduan atau tidak ” didasari oleh subjek studi tentang pathological gambling, Internet addiction, psikologi, dan diagnosa psikiater.
Gejala mengenai permasalahan ini sebenarnya sudah dikemukakan sejak lama, tetapi baru pada tengah 1990-an, saat game online mulai berkembang, hal tersebut mulai dikaji serius. Mark Griffiths, seorang psikologi dari Inggris mengatakan bahwa kecanduan hanya dialami oleh sebagian kecil pemain. Ada banyak orang yang bermain game melebihi batas normal, namun mereka tidak kecanduan. Lagipula untuk memvonis seseorang kecanduan game atau tidak perlu dilihat dengan batasan-batasan berikut (dikemukakan oleh Griffiths dan Davies) :
1. Salience, saat game komputer mendominasi kehidupan seseorang.
2. Mood modification, pengalaman bermain mempengaruhi emosi pemain.
3.Tolerance, pemain membutuhkan waktu bermain lebih banyak dari normal untuk mencapai kepuasan.
4.Withdrawal symptoms, pemain mengalami ketidakstabilan emosi saat dia berhenti bermain.
5. Conflict, pemain mengalami konflik dengan lingkungan sekitar dan diri pribadi.
6. Relapse, pemain kembali ke pola permainan sebelumnya, bahkan ketika dia tidak bermain lagi dalam jangka waktu lama.
Pada tahun 1998 Griffiths dan Hunt mengkaji aspek-aspek di atas pada sekelompok gamers. Mereka menemukan bahwa 19,9% ciri-ciri di atas saling berkaitan satu sama lain. Jadi apabila seseorang mengalami salah satu ciri di atas dapat dipastikan dia juga mengalami ciri lainnya.Dua ahli ini menyatakan bahwa seseorang yang bermain game lebih dari 30 jam per minggu perlu diwaspadai kemungkinan kecanduan game.
Telah dikemukakan indikasi mengenai kecanduan bermain game. Hasil studi Griffiths mengklaim bahwa 7 % gamer mengalami kecanduan.meski riset ini sangat terbatas dan definisi tentang kecanduan itu sendiri tidak konsisten. Walaupun tampaknya kontroversial, bermain game tidak selalu menimbulkan kecanduan meskipun dilakukan dalam waktu lama dan tetap.
Dengan menggunakan enam kriteria seseorang kecanduan game diatas, pemain game diharapkan dapat menentukan sendiri batas kewajaran bermain game. Kegiatan seimbang antara bermain game dan bersosialisasi dapat mengurangi dampak kecanduan.
Pakar Psikologi menyebutkan, selain faktor tekanan lingkungan, video games-lah yang bertanggung jawab atas sifat agresif mereka! Bahkan, beberapa video games tertentu secara signifikan mempengaruhi agresifitas anak.
Ironisnya anak-anak usia 2-11 tahun memiliki akses 71% terhadap video games. berdasarkan penelitian Psychological Science (2010) seperti dikutip Vivanews (12/5/2010) menyatakan bahwa video games membuat kemampuan berfikir anak-anak merosot. Bahkan, beberapa video games tertentu secara signifikan memengaruhi agresifitas anak.
Masalah lain muncul, ketika kita menengok game center, kebanyakan para penikmat Point Blank, Cross Fire, Counter S trike, World of Warcraft, Call of Duty, dll ternyata anak-anak (kebanyakan usia SD). Tentu kita semua tak ingin mereka menjadi James Holmes,Eric dan Dylan berikutnya bukan?
Sejak awal kemunculannya video game pun sudah merebut banyak hati orang, terutama anak-anak dan remaja. Video game dengan berbagai tantangan dan visualisasi yang menarik, dapat memuaskan rasa imajinasi anak-anak yang sedang memuncak. Hal ini ditunjang dengan makin mudah dan murahnya mengakses video game. Memainkan video game sejak beberapa dekade yang lalu memang sudah menjadi gaya hidup bagi banyak anak,remaja bahkan orang dewasa . ya iyalah, dulunya mereka juga anak-anak ( baca= kurang optimal kebahagiaannya sewaktu kecil) jangan tersinggung ya.. =D
Permainan dalam video game, perlahan tapi pasti mampu merebut permainan fisik di dunia nyata. Anak-anak modern banyak yang lebih jago “memainkan bola” di lapangan hijau dalam game daripada memainkan sepakbola secara nyata. Kemahiran ini tentu memuaskan impian anak-anak untuk menjadi pemain sepakbola handal, tanpa mengeluarkan keringat. Video game sudah menjadi sarana pemuasan penting bagi banyak anak.
Karena memiliki gambar yang menarik serta menyuguhkan banyak tantangan. Anak-anak akan puas dan merasa tertantang untuk menyelesaikannya. Lambat laun, hal ini akan membuat durasi seorang anak memainkan video game, semakin lama. Apalagi jika dia memainkan video game yang tidak ada tamatnya. Dunia video game bisa-bisa menggantikan dunia nyata dari pengguna yang sudah kecanduan, tak heran bila ada ungkapan “video game addiction tak jauh beda dengan ganja “. Mau tidak mau, dengan paparan yang lama, video game akan memberi pengaruh yang tidak sedikit bagi penggunanya.
Para developer konsol-konsol game bersaing dengan merancang agar terus menarik dan fun, sehingga penggunanya ingin terus memainkannya. Mencapai skor tertinggi dan mengalahkan skor orang lain adalah salah satu sebab para gamers ingin bermain terus hingga lupa waktu. Alam bawah sadar yang terpuaskan kesenangannya ini bisa menginspirasi ( baca= mensugesti) pemiliknya untuk bertindak sesuatu.
“Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah permainannya, namun ketidakmampuan anak /gamers untuk menyeimbangkan kebiasaan bermain dengan aktivitas lain dalam hidupnya,” sebuah kalimat bagus dari Psikolog Athalia Sunaryo MPsi Psi,
Dalam dunia permainan, anak bisa menjadi siapa saja. Bahkan, saat nge-game, kadang pemainnya “perlu” bertindak agresif secara aktif. Misal, pada permainan berjenis “agak keras” di mana anak bisa melakukan perang-perangan atau pukul-pukulan yang nanti akan mendapatkan reward saat dia melakukan tindakan kekerasan. Reward ini berupa skor besar, suara tepuk tangan, tulisan tertentu di layar. (menembak, memukul, menendang, dan lain-lain), agar mendapat skor tinggi atau menang.
Artinya, tak menutup kemungkinan anak pemalu sekali pun berubah menjadi berani untuk bertindak agresif saat sedang bermain.“Dikhawatirkan jika terlalu sering anak terpapar pada adegan ataupun mendapat kesenangan dari game semacam itu, dapat meningkatkan pemikiran, perasaan, dan perilaku agresif pada anak.
Anak-anak memiliki kecenderungan untuk menirukan peran-peran dari apa yang ia dapatkan. Hal ini disebabkan karena anak-anak belum memiliki peran yang pasti , jati diri mereka belum terbentuk. sehingga mereka menyerap nilai dan norma (significant other) yang ia lihat seperti halnya ketika ia bermain video game. Hal tersebut diungkap George Herbert Mead (1930) dalam Mind, Self, and Society
Sudah sejak dahulu kala pun,redaksional Tuhan telah memfirmankan akan hal ini dalam Al Qur’an surat An Nisa’ : 9
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar
Ujung dari trouble eksplore ini akan mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan, apa dan bagaimana yang perlu dibenahi, regulator? Pastilah sudah ada aturan yang memastikan distribusi dan penggunaan video game. Lagipula, tiap developer video game telah melabeli produk mereka dengan ratting. Lantas, mengapa Point Blank dan Counter Strike yang berlabel Mature digemari anak-anak ???
Masalah kian ‘akut’ ketika para para pendidik (guru, orang tua) acuh tak acuh terhadap keadaan seperti itu. Sikap tersebut sedikitnya dipengaruhi oleh dua faktor; kultural dan struktural. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang video games beserta dampak-dampaknya merupakan masalah kultural. Sedangkan di tataran struktural adalah tidak adanya lembaga formal yang mampu mengakomodasi permasalahan yang ditimbulkan oleh video games.
Ketika kita menemukan tayangan yang bermasalah pada acara televisi, maka kita akan menghubungi KPI selaku regulator yang sah. Tapi, ketika kita menjumpai video game yang bermasalah atau anak-anak yang kecanduan video games, kita tidak tahu akan mengadu kepada siapa ?
Merasa tak dilarang mereka asyik ‘bunuh-bunuhan’. Kemana sistem pendidikan kita? Dimana para pendidik –para guru, orang tua? Jangan-jangan kesadaran itu belum muncul, kesadaran bermedia yang sehat. Cukupkah kita sambil bergumam, “ Ah,yang penting anak-anak disekelilingku aman-aman saja “ ???
Kategori permasalahan Pilih kategori yang paling sesuai dengan permasalahan yang kamu jelaskan diatas. Kamu bisa memilih lebih dari satu.
Me (personal wellbeing)
We ( Community wellbeing )
The World ( The earth wellbeing