aarrrghg..
Revolusi Pendidikan: Perlukah??
Sekolah rakyat di daerah
Dulu, ketika saya masih di tsanawiyah—setingkat SMP—saya punya temen, sebut saja Kus, sangat pintar. Hampir sama dengan saya, ia berasal dari keluarga sederhana, kedua orangtuanya petani, dan si Kus pun giat membantu ekonomi keluarga sembari sekolah. Masih ingat betul, si Kus, saya dan beberapa teman satu klik lainnya seringkali bersaing prestasi ranking kelas.
Beberapa di antara kami mahir matematika, bahasa Inggris, bahasa Arab, biologi, fisika, bahkan ada yang juara pidato. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi anak seusia kami waktu itu, karena dibanding dengan anak-anak SMP, kami anak-anak tsanawiyah mempelajari lebih banyak pelajaran yang tidak dipelajari di SMP, seperti sejarah peradaban Islam, tafsir al Qur’an dan hadits, bahasa Arab, fiqh, aqidah & akhlak, dan lainnya.
Ketika lulus tsanawiyah, si Kus sebagaimana saya dan banyak teman lain tidak melanjutkan ke SMA karena alasan ekonomi. Si Kus kemudian masuk pesantren. Satu tahun lalu (2009) saya dengar kabar ia sudah jadi ustadz di pesantrennya, fasih dan lancar baca kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab dengan kertas berwarna kuning). Pada lebaran kemarin (2010) saya ketemu dengan si Kus di rumah Mahfud, teman satu kampung yang juga satu kelas saya di tsanawiyah.
Si Kus silaturahmi dengan membawa istrinya yang satu kampung dengannya. Tahulah saya bahwa ia baru saja menikah dan sekarang ia bekerja di Jakarta. Katanya di daerah Grogol sebagai office boy sebuah toko swalayan atau apalah namanya. Alasannya simpel, cari duit untuk bekal hidup dan berumah tangga.
Si Mahfud pun tiada beda. Sejak SD saya sekelas dengan dia, selalu berbalap prestasi antara saya, Mahfud dan anaknya Pak Dhe saya, ya selang-seling di antara kami bertiga bergiliran jadi juara satu, dua atau tiga. Pintar-pintarlah kami waktu itu, saya lupa-lupa ingat kira-kira Mahfud jago di pelajaran apa, tapi yang jelas ia pintar. Begitu juga ketika ditsanawiyah, dia lebih berani tampil di depan kelas dibanding saya, bahkan ikut tampil dalam pertunjukan drama perpisahan sekolah dengan banyak pujian dari pejabat yayasan sekolah dan walimurid yang datang waktu itu.
Ketika lulus, Mahfud pun masuk pesantren yang ada di desa kami. Satu tahun lalu (2009) ia bukan hanya sudah jadi seorang ustadz yang pandai baca kitab kuning, tapi juga hafal al Qur’an. Sebuah prestise yang tiada terkira di desa kami.
Selepas lebaran, ia mengikuti jejak Kus ke Jakarta, tapi tidak di satu tempat, melainkan di tempat Pak Dhe-nya yang berwirausaha kecil-kecilan di Jakarta, ikut kerja kasar. Alasannya sederhana juga, sama dengan si Kus, mencari duit untuk bekal hidup dan berumah tangga.
Yah, jalan hidup dua kawan dan karib saya tersebut telah menghujani saya dengan banyak tanya: lalu buat apa dulu mereka susah-susah dapat ranking satu, pintar biologi, matematika dan bahasa Inggris? Banyak biaya yang dikeluarkan orangtua mereka agar anak-anaknya pintar di sekolah, tapi ya akhirnya cukup di situ saja cerita berakhir. Ranking satu di sekolah tak berarti apa-apa di masa depan. Kalau dipikir-pikir, sekolah tempat kami belajar sama sekali tidak memberikan pengetahuan dan praktik pembelajaran bermakna bagi kami.
Sekolah dan kurikulum yang diacu justru mengajari kami, dan saya yakin juga kita semua dengan pelajaran-pelajaran yang tidak bermakna bagi kehidupan sosial riil. Sekolah-sekolah kita tidak peka pada kondisi sosial masyarakat sekitar, pada kondisi keluarga siswa, pada kebutuhan riil anak-anak didiknya. Praktik pembelajaran dan ilmu yang diberikan pada kita tidak berangkat dari realitas sosial riil yang ada di sekitar kita, namun diambilkan jauh dari atas sana, dari buku-buku teori yang katanya valid, reliable, universal, sahih.
Desain dan rencana strategi pendidikan kita dibangun di atas argumentasi bahwa hanya manusia berkualitaslah yang akan dapat menjadi penggerak pembangunan ekonomi Indonesia. Nah, orang berkualitas kemudian didefinisikan sebagai orang pintar, orang pintar adalah yang cakap ilmu-ilmu eksakta, kemudian lulus SMP, melanjutkan SMK atau SMA. Kalau ke SMK maka ia nanti diharapkan lulus dan jadi tenaga terampil bergaji murah, kalau ke SMA diharapkan lulus UN untuk kemudian menjadi mahasiswa. Yang jadi mahasiswa kemudian di kampus didoktrin untuk jadi pekerja kantoran, hidup di kota atau jadi PNS, sedangkan yang tidak lulus UN dibuang menjadi kelas pekerja tak punya keterampilan, yang kebanyakan ketika bekerja akan digaji rendah.
Logika inilah yang dilawan oleh Henry Giroux (1997) misalnya, bahwa ada desain lain, ada alternatif atau pilihan lain, masih ada harapan lain untuk membangun tatanan dan desain pendidikan yang tidak hanya ditujukan untuk merunduk di bawah dikte-dikte kapitalisme dan neoliberalisme. Upaya untuk memperjuangkan pilihan lain, selain dari desainmainstream yang dianggap mutlak kebenarannya tersebut itulah yang disebut sebagai politik pengharapan (the politics of hope).
Kembali pada desain sekolah yang berjalan di atas desain atau rel kapitalisme tersebut, pada akhirnya kita diajak untuk masuk dalam alam pikir dunia lain yang sama sekali berbeda dari kehidupan sosial riil kita sehari-hari.
Saya misalnya, diajak berimajinasi dengan menjadi orang sukses yang fasih berbahasa Inggris, menjadi ahli matematika, ahli fisika, ahli kimia, ahli biologi, dan kemudian melupakan identitas dan kondisi riil saya sesungguhnya sebagai anak petani yang tiap pulang sekolah angon wedhus di hutan sebelah timur desa.
Saya jadi lupa-lupa ingat bahwa pintar di sekolah tidaklah cukup, karena kepintaran saya di sekolah sama sekali tidak ada hubungannya dengan keberhasilan dan kebermaknaan hidup saya dalam kehidupan riil saya sehari-hari di keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar.
Karena memang kepintaran saya misalnya hanya pintar teori dan praktik hal-hal yang tak berhubungan dengan kebutuhan riil kita. Di desa, saya harus belajar mengenal potensi ekonomi lokal dan peluang-peluang yang dapat dikembangkan untuk membangun kehidupan yang lebih sejahtera, tapi malah dikasih geometri, aljabar, dan kalkulus.
Di desa, saya serius butuh bagaimana beternak wedhus, ayam kampung, berkebun cabai atau terong, tapi kenapa dikasih biologi dan fisika? Tentu saja ilmu-ilmu dasar matematika penting, begitu juga dengan biologi dan fisika, namun tidak seharusnya dijadikan pelajaran utama, favorit, hingga saking favoritnya siswa-siswa yang juara matematika dan fisika dielu-elukan banyak guru dan orangtua, namun akhirnya gagap realitas ketika kembali ke dunia nyata kehidupan sehari-hari mereka sebagai anak-anak petani yang harus angon wedhus tiap sore.
Sungguh, sekolah menjadi ruang kedap suara untuk mencuci kesadaran kita, menjadikan kita tidak lagi mendengar jerit derita sosial di luar sekolah. Sekolah jadi benteng kesadaran untuk memisahkan kita agar tidak lagi merasa sebagai bagian dari masyarakat, agar dengan simbol kepintaran menjadikan kita berbeda dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding mereka yang tidak pernah makan bangku sekolahan. Sekolah menjadi mesin cuci modern untuk melunturkan otentisitas kedirian kita, melucuti paham tata nilai kebudayaan lokal kita, untuk kemudian diajari pengetahuan-pengetahuan modern yang dianggap akan berguna bagi kita.
Wajib belajar mestinya bukan wajib sekolah, tapi kewajiban negara untuk memberikan fasilitas belajar bagi seluruh warga negara agar dapat meningkatkan harkat dan martabatnya, juga kedaulatan dan kualitas hidupnya. Cerita nyata dua karib saya di depan adalah fakta nyata, mereka menuntaskan wajib belajar 9 (Sembilan) tahun dengan tepat waktu, prestasi bagus, tapi ya itu saja, tak ada cerita lanjutan yang membuktikan pelajaran yang mereka pelajari di sekolah berguna untuk dunia kerja, tidak pula ada cerita prestasi mereka di sekolah yang dibangga-banggakan dulu berguna bagi kehidupan mereka selanjutnya.
Tentu ini bukan sekadar soal Wajib Belajar yang hanya sembilan tahun, hingga menjadikan SMA tidak wajib dan oleh karenanya tidak mendapat subsidi seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah sebagaimana pada jenjang SD dan SMP, yang pada akhirnya nasib anak-anak seperti si Kus dulu aka tetap banyak, yakni sekadar lulus SMP atau tsanawiyah dan tidak dapat melanjutkan studi karena alasan ekonomi. Tapi ini serius berkaitan dengan banyak hal yang kita pelajari di sekolah itu tidak bermakna bagi kehidupan riil kita sehari-hari!
Betapa kita, orangtua kita, dan negara telah membuang banyak duit untuk menyelenggarakan pendidikan yang tidak bermakna bagi banyak orang yang nasibnya seperti kedua karib saya. Betapa duit negara ini yang bahkan dengan cara hutang untuk membiayai BOS misalnya digunakan hanya untuk fokus memperbaiki pendidikan formal persekolahan saja, tanpa melihat bahwa jam-jam kehidupan sosial kita justru banyak kita habiskan di luar sekolah, dan jelas kita belajar lebih banyak nilai luhur, matematika sosial, ekonomi riil, politik, sosial, juga budaya, karena jelas juga lingkungan masyarakat dan alam realitas adalah sumber belajar nilai, budaya, politik, ekonomi yang tak ada habis-habisnya.
Kenapa sekolah-sekolah kita tidak mendasarkan kurikulumnya pada kebutuhan riil anak-anak didiknya, katakanlah sebuah praktik pendidikan kontekstual yang tidak utopis dan ilusif.
Sebuah praktik pembelajaran dan pendidikan yang responsif terhadap masalah dan kondisi riil sosial masyarakat dan juga kondisi personal siswa. Yang tidak hanya mengacu nilai-nilai luhur nan ideal, melainkan juga dibangun di atas fondasi realitas yang tidak selamanya enak untuk dilihat dan diakui bahwa itu adalah cermin retak masyarakat dan diri kita sendiri.
Ekonomi adalah problem riil masyarakat kita, dan hal itulah salah satu hal yang harus dipertimbangkan di sekolah untuk dikaji dan pelajari secara serius. Kenapa sekolah-sekolah sampai sekarang mendasarkan pada asumsi bahwa semua anak membutuhkan pelajaran yang sama dan harus mencapai standar yang sama. Bukankah itu bentuk penyeragaman melalui ideologi standarisasi dan kompetisi? Yang kalau ditelisik lebih jauh akan sampai pada tata nilai filosofi neoliberalisme dan kapitalisme.
Kenapa pemerintah dan guru-guru selalu merasa sok tahu bahwa semua siswa ingin jadi orang modern, kerja kantoran atau jadi PNS, hingga kemudian merasa perlu dibekali pelajaran-pelajaran yang nantinya akan menjadikan mereka lulus UN, setelah lulus UN adalah lulus ujian masuk kuliah, kemudian setelah itu diwisuda dan menjadi pekerja kantoran atau PNS.
Untuk tujuan “mulia” itulah, maka yang harus diberikan pada siswa adalah materi-materi yang praktis akan keluar di UN dan test-test kerja lainnya. Tidak perlu belajar sastra, seni, budaya, sosiologi, psikologi, apalagi filsafat. Karena semua itu tidak menunjang karier kerja, dan jelas tidak menjadi modal utama meningkatkan human development index (HDI) Indonesia. Toh tidak ada ceritanya wawancara masuk kerja kemudian ditanya tentang nasionalisme, ideologi, filsafat, dan budaya.
Bukan maksud saya bahwa hal yang praktis-praktis, keterampilan praktis dan sejenisnya tidak perlu dipelajari. Semuanya itu perlu dipelajari, tapi jangan menjadi ruh dari praktik pendidikan, jangan sampai ilmu praktis menjadi ideologi pendidikan nasional. Karena kalau itu sampai terjadi, maka sungguh sekolah dan kampus-kampus kita hanya akan menciptakan para pekerja terampil saja, namun minim visi kehidupan yang lebih kaya perspektif. Ketika hanya dicekoki oleh pelajaran dan keterampilan praktis-praktis saja, maka ketika bekerja yang mereka kejar adalah target kinerja dan profesionalitas saja.
Di dalam otak mereka tak ada hal lain yang ingin dicapai kecuali mencapai target kinerja bagus dan profesionalitas kerja. Mereka tidak mampu berpikir dan bergerak melampaui praktik kedangkalan budaya tersebut, mereka terjebak dan larut serta ikut serta menjadi peneguh budaya robot tersebut.
Perlunya belajar keterampilan dengan begitu harus tahu waktu dan tempat, sadar skala geografi, sosial dan kultural. Tentu kita harus belajar mengetik kalau ingin jadi penulis, tapi jangan jadikan pelajaran mengetik sebagai pelajaran utama, justru yang utama adalah pelajaran apa yang harus ditulis, bagaimana merangkai kata dan kalimat, memilih diksi yang tepat dan lainnya. Begitu juga bagi anak-anak di daerah saya dulu, yang sehari-hari membantu orangtua ke sawah, berladang dan angon wedhus misalnya, mestinya juga harus dikasih pelajaran yang berkaitan langsung dengan kebutuhan riil diri siswa-siswa, bukannya justru diberi pemahaman nilai bahwa yang penting pintar di sekolah.
Pendekatan manusiawi dalam pendidikan dengan begitu bukanlah pendekatan yang menyamaratakan semua anak, tidak sok tahu apa yang terbaik bagi anak secara general dan universal, tapi mesti peka konteks dan melihat kebutuhan personal siswa. Kalau saja dulu si Kus ditanya oleh gurunya mengenai cita-citanya nanti, misalnya si Kus kemudian menjawab, “Pengen jadi guru!” maka si Kus harus diberikan pengertian konsekuensi dari pilihannya tersebut, kalaupun sudah mantap maka kemudian ia harus dibimbing untuk dapat mencapai cita-citanya tersebut.
Caranya bukan hanya sekadar memberikan pengertian bahwa ia harus pandai, tapi juga bagaimana cara mensiasati kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ini penting, karena sepintar apapun si Kus, kalau ia tidak dapat keluar dari jerat kekurangan ekonomi keluarga, maka cita-citanya menjadi guru akan sia-sia, karena ia tidak akan dapat melanjutkan ke SMA yang tidak lagi sebagai bagian dari program Wajib Belajar, apalagi kuliah yang biayanya teramat mahal.
Kalau si Kus menjawab, “Ingin jadi petani saja!” maka Sang Guru harus betul-betul memberikan pengertian konsekuensi dari pilihannya tersebut, sampai pada bagaimana mempersiapkannya dengan kemungkinan untuk menjadi petani yang tidak sekadar petani biasa, tapi petani yang serius menggarap lahannya dengan pengetahuan yang baik. Hingga bahkan mungkin ketika baru lulus sekolah ia sudah dapat memiliki rencana besar untuk beternak wedhus dengan perhitungan matang, dengan kata lain sudah dibekali keterampilan praktis dan juga visi kehidupan yang luas untuk hidup mandiri sesuai dengan kondisi keluarga, masyarakat sekitar dan tentu saja bakat, minat dan kemampuan si Kus itu sendiri. Baru dengan begitu sekolah menjadi tidak mubazir, uang sekolah orangtua si Kus jadi berguna, sekolahnya si Kus jadi betul-betul bermakna bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
Saya pikir kita mesti bangun dari mimpi kita untuk menciptakan dunia yang beradab, ketika praktik pendidikan kita ternyata sejak awal tidak menghargai keunikan dan otentisitas kedirian anak manusia, tidak melihat realitas ekonomi, sosial, budaya dan ideologi di sekitar sekolah, tidak peka praktik diskriminasi dan ketidakadilan di luar sekolah—bahkan juga di dalam sekolah.
Tepat kiranya kritik Ivan Illich (1971) dalamDeschooling Society dulu, bahkan sekarang masih relevan ketika sekolah-sekolah sampai sekarang menjadi tiada lebih sebagai pabrik penghasil cyborg-cybrog yang ditujukan bekerja bagi tatanan modernitas dan industri kapitalis belaka.
Dan ini bukan hanya problem pendidikan formal saja, kisah kedua karib saya juga menjadikan saya bertanya: ilmu-ilmu mengaji kitab klasik dan hafal al Qur’an mereka kemudian di kemanakan? Pesantren kebanyakan seperti sekolah-sekolah umum tidak banyak membekali keterampilan penunjang kelayakan hidup alumninya. Akhirnya banyak alumni yang berkualitas bagus, ilmunya menjadi tidak dapat diamalkan secara optimal karena terjebak pada keharusan mereka mencari nafkah yang menguras tenaga dan waktunya.
Ingin saya mencarikan mereka masjid di Jakarta atau kota lain agar mereka dapat mengamalkan ilmu keagamaannya dengan pernghormatan yang layak, atau mendirikan lembaga pendidikan agar mereka bisa mengabdikan diri dan kehidupannya untuk umat tanpa banyak direcoki urusan pusing-pusing cari sesuap nasi, yang justru menjadikan modal ilmu mereka jadi tak bisa diamalkan secara optimal.
Sayang, secara umum, kita memang belum punya tradisi menghormati orang karena ilmunya, melainkan lebih banyak hanya karena harta, posisi politik dan penampilannya belaka. Oleh karenanya, jalan intelektual adalah jalan sunyi, jalan pencari ilmu dan jalan kehidupan para penjaga nilai adalah jalan sunyi, serupa jalan sufi.
Hmm, kawan adakah kiranya jalan selain revolusi pendidikan yang dapat dilakukan untuk menjadikan praktik pendidikan persekolahan kita lebih baik, agar prestasi-prestasi anak-anak kita di sekolah tidak hanya menjadi kisah pelipur lara di masa tua mereka, agar kebanggaan-kebanggaan anak-anak kita selama sekolah tidak hanya kebanggaan semu yang tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan nyata, agar uang yang dikeluarkan negara dan orang-orangtua kita betul-betul ada gunanya, dan praktik sekolah kita betul-betul bermakna…
by edi subkhan
Susintawati Herudjito mrk belajar menjahit,memasak,sablon,petenakan,perikanan dll.siswa yg scr ekonomi mampu melanjutkan kuliah tdk boleh msk dlm program ini.oya,sekolah ini SMAN pa
Susintawati Herudjito jd kepsek harus peka & kreatif melihat kondisi kurikulum diknas dan fakta riil peserta didiknya shg ia bs memberi solusi bg kesuksesan masa depan "anak2nya".
Ida Tahmidah saya setuju dengan tulisan di atas, revolusi pendidikan di negara kita memang diperlukan. Kita lihat saja output pddk di negara kita, tdk mendidik muridnya menjadi manusia yg berkarakter, malah mayoritas nilai oriented, ijazah oriented.
Di Sekolah atau di kampus kita diwajibkan u belajar bidang mata pelajaran sesuai kurikulum. Suka tdk suka kita sering dijejali ilmu yg tdk terlalu bermanfaat u kehidupan kita. Kurikulum sering diubah, ada yg ditambah ...
Harry Santosa Berikut adalah penggolongan paradigma secara sederhana oleh Henry Giroux dan Aronowitz yang membaginya pada tiga kelompok yaitu konservatif, liberal & kritis.
Sekolah rakyat di daerah
Dulu, ketika saya masih di tsanawiyah—setingkat SMP—saya punya temen, sebut saja Kus, sangat pintar. Hampir sama dengan saya, ia berasal dari keluarga sederhana, kedua orangtuanya petani, dan si Kus pun giat membantu ekonomi keluarga sembari sekolah. Masih ingat betul, si Kus, saya dan beberapa teman satu klik lainnya seringkali bersaing prestasi ranking kelas.
Beberapa di antara kami mahir matematika, bahasa Inggris, bahasa Arab, biologi, fisika, bahkan ada yang juara pidato. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi anak seusia kami waktu itu, karena dibanding dengan anak-anak SMP, kami anak-anak tsanawiyah mempelajari lebih banyak pelajaran yang tidak dipelajari di SMP, seperti sejarah peradaban Islam, tafsir al Qur’an dan hadits, bahasa Arab, fiqh, aqidah & akhlak, dan lainnya.
Ketika lulus tsanawiyah, si Kus sebagaimana saya dan banyak teman lain tidak melanjutkan ke SMA karena alasan ekonomi. Si Kus kemudian masuk pesantren. Satu tahun lalu (2009) saya dengar kabar ia sudah jadi ustadz di pesantrennya, fasih dan lancar baca kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab dengan kertas berwarna kuning). Pada lebaran kemarin (2010) saya ketemu dengan si Kus di rumah Mahfud, teman satu kampung yang juga satu kelas saya di tsanawiyah.
Si Kus silaturahmi dengan membawa istrinya yang satu kampung dengannya. Tahulah saya bahwa ia baru saja menikah dan sekarang ia bekerja di Jakarta. Katanya di daerah Grogol sebagai office boy sebuah toko swalayan atau apalah namanya. Alasannya simpel, cari duit untuk bekal hidup dan berumah tangga.
Si Mahfud pun tiada beda. Sejak SD saya sekelas dengan dia, selalu berbalap prestasi antara saya, Mahfud dan anaknya Pak Dhe saya, ya selang-seling di antara kami bertiga bergiliran jadi juara satu, dua atau tiga. Pintar-pintarlah kami waktu itu, saya lupa-lupa ingat kira-kira Mahfud jago di pelajaran apa, tapi yang jelas ia pintar. Begitu juga ketika ditsanawiyah, dia lebih berani tampil di depan kelas dibanding saya, bahkan ikut tampil dalam pertunjukan drama perpisahan sekolah dengan banyak pujian dari pejabat yayasan sekolah dan walimurid yang datang waktu itu.
Ketika lulus, Mahfud pun masuk pesantren yang ada di desa kami. Satu tahun lalu (2009) ia bukan hanya sudah jadi seorang ustadz yang pandai baca kitab kuning, tapi juga hafal al Qur’an. Sebuah prestise yang tiada terkira di desa kami.
Selepas lebaran, ia mengikuti jejak Kus ke Jakarta, tapi tidak di satu tempat, melainkan di tempat Pak Dhe-nya yang berwirausaha kecil-kecilan di Jakarta, ikut kerja kasar. Alasannya sederhana juga, sama dengan si Kus, mencari duit untuk bekal hidup dan berumah tangga.
Yah, jalan hidup dua kawan dan karib saya tersebut telah menghujani saya dengan banyak tanya: lalu buat apa dulu mereka susah-susah dapat ranking satu, pintar biologi, matematika dan bahasa Inggris? Banyak biaya yang dikeluarkan orangtua mereka agar anak-anaknya pintar di sekolah, tapi ya akhirnya cukup di situ saja cerita berakhir. Ranking satu di sekolah tak berarti apa-apa di masa depan. Kalau dipikir-pikir, sekolah tempat kami belajar sama sekali tidak memberikan pengetahuan dan praktik pembelajaran bermakna bagi kami.
Sekolah dan kurikulum yang diacu justru mengajari kami, dan saya yakin juga kita semua dengan pelajaran-pelajaran yang tidak bermakna bagi kehidupan sosial riil. Sekolah-sekolah kita tidak peka pada kondisi sosial masyarakat sekitar, pada kondisi keluarga siswa, pada kebutuhan riil anak-anak didiknya. Praktik pembelajaran dan ilmu yang diberikan pada kita tidak berangkat dari realitas sosial riil yang ada di sekitar kita, namun diambilkan jauh dari atas sana, dari buku-buku teori yang katanya valid, reliable, universal, sahih.
Desain dan rencana strategi pendidikan kita dibangun di atas argumentasi bahwa hanya manusia berkualitaslah yang akan dapat menjadi penggerak pembangunan ekonomi Indonesia. Nah, orang berkualitas kemudian didefinisikan sebagai orang pintar, orang pintar adalah yang cakap ilmu-ilmu eksakta, kemudian lulus SMP, melanjutkan SMK atau SMA. Kalau ke SMK maka ia nanti diharapkan lulus dan jadi tenaga terampil bergaji murah, kalau ke SMA diharapkan lulus UN untuk kemudian menjadi mahasiswa. Yang jadi mahasiswa kemudian di kampus didoktrin untuk jadi pekerja kantoran, hidup di kota atau jadi PNS, sedangkan yang tidak lulus UN dibuang menjadi kelas pekerja tak punya keterampilan, yang kebanyakan ketika bekerja akan digaji rendah.
Logika inilah yang dilawan oleh Henry Giroux (1997) misalnya, bahwa ada desain lain, ada alternatif atau pilihan lain, masih ada harapan lain untuk membangun tatanan dan desain pendidikan yang tidak hanya ditujukan untuk merunduk di bawah dikte-dikte kapitalisme dan neoliberalisme. Upaya untuk memperjuangkan pilihan lain, selain dari desainmainstream yang dianggap mutlak kebenarannya tersebut itulah yang disebut sebagai politik pengharapan (the politics of hope).
Kembali pada desain sekolah yang berjalan di atas desain atau rel kapitalisme tersebut, pada akhirnya kita diajak untuk masuk dalam alam pikir dunia lain yang sama sekali berbeda dari kehidupan sosial riil kita sehari-hari.
Saya misalnya, diajak berimajinasi dengan menjadi orang sukses yang fasih berbahasa Inggris, menjadi ahli matematika, ahli fisika, ahli kimia, ahli biologi, dan kemudian melupakan identitas dan kondisi riil saya sesungguhnya sebagai anak petani yang tiap pulang sekolah angon wedhus di hutan sebelah timur desa.
Saya jadi lupa-lupa ingat bahwa pintar di sekolah tidaklah cukup, karena kepintaran saya di sekolah sama sekali tidak ada hubungannya dengan keberhasilan dan kebermaknaan hidup saya dalam kehidupan riil saya sehari-hari di keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar.
Karena memang kepintaran saya misalnya hanya pintar teori dan praktik hal-hal yang tak berhubungan dengan kebutuhan riil kita. Di desa, saya harus belajar mengenal potensi ekonomi lokal dan peluang-peluang yang dapat dikembangkan untuk membangun kehidupan yang lebih sejahtera, tapi malah dikasih geometri, aljabar, dan kalkulus.
Di desa, saya serius butuh bagaimana beternak wedhus, ayam kampung, berkebun cabai atau terong, tapi kenapa dikasih biologi dan fisika? Tentu saja ilmu-ilmu dasar matematika penting, begitu juga dengan biologi dan fisika, namun tidak seharusnya dijadikan pelajaran utama, favorit, hingga saking favoritnya siswa-siswa yang juara matematika dan fisika dielu-elukan banyak guru dan orangtua, namun akhirnya gagap realitas ketika kembali ke dunia nyata kehidupan sehari-hari mereka sebagai anak-anak petani yang harus angon wedhus tiap sore.
Sungguh, sekolah menjadi ruang kedap suara untuk mencuci kesadaran kita, menjadikan kita tidak lagi mendengar jerit derita sosial di luar sekolah. Sekolah jadi benteng kesadaran untuk memisahkan kita agar tidak lagi merasa sebagai bagian dari masyarakat, agar dengan simbol kepintaran menjadikan kita berbeda dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding mereka yang tidak pernah makan bangku sekolahan. Sekolah menjadi mesin cuci modern untuk melunturkan otentisitas kedirian kita, melucuti paham tata nilai kebudayaan lokal kita, untuk kemudian diajari pengetahuan-pengetahuan modern yang dianggap akan berguna bagi kita.
Wajib belajar mestinya bukan wajib sekolah, tapi kewajiban negara untuk memberikan fasilitas belajar bagi seluruh warga negara agar dapat meningkatkan harkat dan martabatnya, juga kedaulatan dan kualitas hidupnya. Cerita nyata dua karib saya di depan adalah fakta nyata, mereka menuntaskan wajib belajar 9 (Sembilan) tahun dengan tepat waktu, prestasi bagus, tapi ya itu saja, tak ada cerita lanjutan yang membuktikan pelajaran yang mereka pelajari di sekolah berguna untuk dunia kerja, tidak pula ada cerita prestasi mereka di sekolah yang dibangga-banggakan dulu berguna bagi kehidupan mereka selanjutnya.
Tentu ini bukan sekadar soal Wajib Belajar yang hanya sembilan tahun, hingga menjadikan SMA tidak wajib dan oleh karenanya tidak mendapat subsidi seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah sebagaimana pada jenjang SD dan SMP, yang pada akhirnya nasib anak-anak seperti si Kus dulu aka tetap banyak, yakni sekadar lulus SMP atau tsanawiyah dan tidak dapat melanjutkan studi karena alasan ekonomi. Tapi ini serius berkaitan dengan banyak hal yang kita pelajari di sekolah itu tidak bermakna bagi kehidupan riil kita sehari-hari!
Betapa kita, orangtua kita, dan negara telah membuang banyak duit untuk menyelenggarakan pendidikan yang tidak bermakna bagi banyak orang yang nasibnya seperti kedua karib saya. Betapa duit negara ini yang bahkan dengan cara hutang untuk membiayai BOS misalnya digunakan hanya untuk fokus memperbaiki pendidikan formal persekolahan saja, tanpa melihat bahwa jam-jam kehidupan sosial kita justru banyak kita habiskan di luar sekolah, dan jelas kita belajar lebih banyak nilai luhur, matematika sosial, ekonomi riil, politik, sosial, juga budaya, karena jelas juga lingkungan masyarakat dan alam realitas adalah sumber belajar nilai, budaya, politik, ekonomi yang tak ada habis-habisnya.
Kenapa sekolah-sekolah kita tidak mendasarkan kurikulumnya pada kebutuhan riil anak-anak didiknya, katakanlah sebuah praktik pendidikan kontekstual yang tidak utopis dan ilusif.
Sebuah praktik pembelajaran dan pendidikan yang responsif terhadap masalah dan kondisi riil sosial masyarakat dan juga kondisi personal siswa. Yang tidak hanya mengacu nilai-nilai luhur nan ideal, melainkan juga dibangun di atas fondasi realitas yang tidak selamanya enak untuk dilihat dan diakui bahwa itu adalah cermin retak masyarakat dan diri kita sendiri.
Ekonomi adalah problem riil masyarakat kita, dan hal itulah salah satu hal yang harus dipertimbangkan di sekolah untuk dikaji dan pelajari secara serius. Kenapa sekolah-sekolah sampai sekarang mendasarkan pada asumsi bahwa semua anak membutuhkan pelajaran yang sama dan harus mencapai standar yang sama. Bukankah itu bentuk penyeragaman melalui ideologi standarisasi dan kompetisi? Yang kalau ditelisik lebih jauh akan sampai pada tata nilai filosofi neoliberalisme dan kapitalisme.
Kenapa pemerintah dan guru-guru selalu merasa sok tahu bahwa semua siswa ingin jadi orang modern, kerja kantoran atau jadi PNS, hingga kemudian merasa perlu dibekali pelajaran-pelajaran yang nantinya akan menjadikan mereka lulus UN, setelah lulus UN adalah lulus ujian masuk kuliah, kemudian setelah itu diwisuda dan menjadi pekerja kantoran atau PNS.
Untuk tujuan “mulia” itulah, maka yang harus diberikan pada siswa adalah materi-materi yang praktis akan keluar di UN dan test-test kerja lainnya. Tidak perlu belajar sastra, seni, budaya, sosiologi, psikologi, apalagi filsafat. Karena semua itu tidak menunjang karier kerja, dan jelas tidak menjadi modal utama meningkatkan human development index (HDI) Indonesia. Toh tidak ada ceritanya wawancara masuk kerja kemudian ditanya tentang nasionalisme, ideologi, filsafat, dan budaya.
Bukan maksud saya bahwa hal yang praktis-praktis, keterampilan praktis dan sejenisnya tidak perlu dipelajari. Semuanya itu perlu dipelajari, tapi jangan menjadi ruh dari praktik pendidikan, jangan sampai ilmu praktis menjadi ideologi pendidikan nasional. Karena kalau itu sampai terjadi, maka sungguh sekolah dan kampus-kampus kita hanya akan menciptakan para pekerja terampil saja, namun minim visi kehidupan yang lebih kaya perspektif. Ketika hanya dicekoki oleh pelajaran dan keterampilan praktis-praktis saja, maka ketika bekerja yang mereka kejar adalah target kinerja dan profesionalitas saja.
Di dalam otak mereka tak ada hal lain yang ingin dicapai kecuali mencapai target kinerja bagus dan profesionalitas kerja. Mereka tidak mampu berpikir dan bergerak melampaui praktik kedangkalan budaya tersebut, mereka terjebak dan larut serta ikut serta menjadi peneguh budaya robot tersebut.
Perlunya belajar keterampilan dengan begitu harus tahu waktu dan tempat, sadar skala geografi, sosial dan kultural. Tentu kita harus belajar mengetik kalau ingin jadi penulis, tapi jangan jadikan pelajaran mengetik sebagai pelajaran utama, justru yang utama adalah pelajaran apa yang harus ditulis, bagaimana merangkai kata dan kalimat, memilih diksi yang tepat dan lainnya. Begitu juga bagi anak-anak di daerah saya dulu, yang sehari-hari membantu orangtua ke sawah, berladang dan angon wedhus misalnya, mestinya juga harus dikasih pelajaran yang berkaitan langsung dengan kebutuhan riil diri siswa-siswa, bukannya justru diberi pemahaman nilai bahwa yang penting pintar di sekolah.
Pendekatan manusiawi dalam pendidikan dengan begitu bukanlah pendekatan yang menyamaratakan semua anak, tidak sok tahu apa yang terbaik bagi anak secara general dan universal, tapi mesti peka konteks dan melihat kebutuhan personal siswa. Kalau saja dulu si Kus ditanya oleh gurunya mengenai cita-citanya nanti, misalnya si Kus kemudian menjawab, “Pengen jadi guru!” maka si Kus harus diberikan pengertian konsekuensi dari pilihannya tersebut, kalaupun sudah mantap maka kemudian ia harus dibimbing untuk dapat mencapai cita-citanya tersebut.
Caranya bukan hanya sekadar memberikan pengertian bahwa ia harus pandai, tapi juga bagaimana cara mensiasati kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ini penting, karena sepintar apapun si Kus, kalau ia tidak dapat keluar dari jerat kekurangan ekonomi keluarga, maka cita-citanya menjadi guru akan sia-sia, karena ia tidak akan dapat melanjutkan ke SMA yang tidak lagi sebagai bagian dari program Wajib Belajar, apalagi kuliah yang biayanya teramat mahal.
Kalau si Kus menjawab, “Ingin jadi petani saja!” maka Sang Guru harus betul-betul memberikan pengertian konsekuensi dari pilihannya tersebut, sampai pada bagaimana mempersiapkannya dengan kemungkinan untuk menjadi petani yang tidak sekadar petani biasa, tapi petani yang serius menggarap lahannya dengan pengetahuan yang baik. Hingga bahkan mungkin ketika baru lulus sekolah ia sudah dapat memiliki rencana besar untuk beternak wedhus dengan perhitungan matang, dengan kata lain sudah dibekali keterampilan praktis dan juga visi kehidupan yang luas untuk hidup mandiri sesuai dengan kondisi keluarga, masyarakat sekitar dan tentu saja bakat, minat dan kemampuan si Kus itu sendiri. Baru dengan begitu sekolah menjadi tidak mubazir, uang sekolah orangtua si Kus jadi berguna, sekolahnya si Kus jadi betul-betul bermakna bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
Saya pikir kita mesti bangun dari mimpi kita untuk menciptakan dunia yang beradab, ketika praktik pendidikan kita ternyata sejak awal tidak menghargai keunikan dan otentisitas kedirian anak manusia, tidak melihat realitas ekonomi, sosial, budaya dan ideologi di sekitar sekolah, tidak peka praktik diskriminasi dan ketidakadilan di luar sekolah—bahkan juga di dalam sekolah.
Tepat kiranya kritik Ivan Illich (1971) dalamDeschooling Society dulu, bahkan sekarang masih relevan ketika sekolah-sekolah sampai sekarang menjadi tiada lebih sebagai pabrik penghasil cyborg-cybrog yang ditujukan bekerja bagi tatanan modernitas dan industri kapitalis belaka.
Dan ini bukan hanya problem pendidikan formal saja, kisah kedua karib saya juga menjadikan saya bertanya: ilmu-ilmu mengaji kitab klasik dan hafal al Qur’an mereka kemudian di kemanakan? Pesantren kebanyakan seperti sekolah-sekolah umum tidak banyak membekali keterampilan penunjang kelayakan hidup alumninya. Akhirnya banyak alumni yang berkualitas bagus, ilmunya menjadi tidak dapat diamalkan secara optimal karena terjebak pada keharusan mereka mencari nafkah yang menguras tenaga dan waktunya.
Ingin saya mencarikan mereka masjid di Jakarta atau kota lain agar mereka dapat mengamalkan ilmu keagamaannya dengan pernghormatan yang layak, atau mendirikan lembaga pendidikan agar mereka bisa mengabdikan diri dan kehidupannya untuk umat tanpa banyak direcoki urusan pusing-pusing cari sesuap nasi, yang justru menjadikan modal ilmu mereka jadi tak bisa diamalkan secara optimal.
Sayang, secara umum, kita memang belum punya tradisi menghormati orang karena ilmunya, melainkan lebih banyak hanya karena harta, posisi politik dan penampilannya belaka. Oleh karenanya, jalan intelektual adalah jalan sunyi, jalan pencari ilmu dan jalan kehidupan para penjaga nilai adalah jalan sunyi, serupa jalan sufi.
Hmm, kawan adakah kiranya jalan selain revolusi pendidikan yang dapat dilakukan untuk menjadikan praktik pendidikan persekolahan kita lebih baik, agar prestasi-prestasi anak-anak kita di sekolah tidak hanya menjadi kisah pelipur lara di masa tua mereka, agar kebanggaan-kebanggaan anak-anak kita selama sekolah tidak hanya kebanggaan semu yang tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan nyata, agar uang yang dikeluarkan negara dan orang-orangtua kita betul-betul ada gunanya, dan praktik sekolah kita betul-betul bermakna…
by edi subkhan
Susintawati Herudjito mrk belajar menjahit,memasak,sablon,petenakan,perikanan dll.siswa yg scr ekonomi mampu melanjutkan kuliah tdk boleh msk dlm program ini.oya,sekolah ini SMAN pa
Susintawati Herudjito jd kepsek harus peka & kreatif melihat kondisi kurikulum diknas dan fakta riil peserta didiknya shg ia bs memberi solusi bg kesuksesan masa depan "anak2nya".
Ida Tahmidah saya setuju dengan tulisan di atas, revolusi pendidikan di negara kita memang diperlukan. Kita lihat saja output pddk di negara kita, tdk mendidik muridnya menjadi manusia yg berkarakter, malah mayoritas nilai oriented, ijazah oriented.
Di Sekolah atau di kampus kita diwajibkan u belajar bidang mata pelajaran sesuai kurikulum. Suka tdk suka kita sering dijejali ilmu yg tdk terlalu bermanfaat u kehidupan kita. Kurikulum sering diubah, ada yg ditambah ...
Harry Santosa Berikut adalah penggolongan paradigma secara sederhana oleh Henry Giroux dan Aronowitz yang membaginya pada tiga kelompok yaitu konservatif, liberal & kritis.