Dalam salah satu acara TV Nasional semalam, seorang Mahasiswa IPB yang dijadikan panelis, mengusulkan agar pemerintah serius memberi proteksi pada para petani, nelayan dan pengrajin lokal. Masalahnya, menurut dia, upaya pemiskinan petani, nelayan dan pengrajin kecil itu oleh para pemain industri besar sudah berlangsung puluhan tahun.
Panelis yang lain, juga seorang mahasiswi IPB, meminta pendapat kepada narasumber yg terdiri dari anggota DPR RI, pejabat Kementan dan Pengamat Ekonomi, terkait dengan selalu gagalnya program "top down" pemerintah untuk pemberdayaan desa, agar mulai juga memberi dukungan kepada program yang merupakan "aspirasi bottom up". Dalam case ini, dia mengusulkan agar pemerintah mendukung mahasiswa untuk "terjun langsung" melakukan penelitian bersama masyarakat desa dan menemukan program-program yang sesuai aspirasi dan keunikan potensi daerahnya
Panelis yang lain, juga seorang mahasiswi IPB, meminta pendapat kepada narasumber yg terdiri dari anggota DPR RI, pejabat Kementan dan Pengamat Ekonomi, terkait dengan selalu gagalnya program "top down" pemerintah untuk pemberdayaan desa, agar mulai juga memberi dukungan kepada program yang merupakan "aspirasi bottom up". Dalam case ini, dia mengusulkan agar pemerintah mendukung mahasiswa untuk "terjun langsung" melakukan penelitian bersama masyarakat desa dan menemukan program-program yang sesuai aspirasi dan keunikan potensi daerahnya
Sampai segmen itu, saya surprise dan membenarkan pendapat kedua mahasiswa tersebut, dan saya tahu betul berbagai program pemerintah melakukan pengentasan kemiskinan oleh Kemensos, pemberdayaan ekonomi oleh Kemenkop & Kemenperindag, mandiri energi oleh Kemen ESDM, peningkatan kualitas guru dan sekolah oleh kemendikbudna, dsbnya selalu gagal, setidaknya hanya terukur dari keberhasilan anggaran yg dihabiskan, bukan hasil nyata berupa runtutan impact dari program yg berkelanjutan.
Selain program yg tidak "bersinergi", tumpang tindih, penyeragaman alias Top Down juga pada level negara tidak memiliki "kebanggaan" pada product sendiri dan tidak memiliki "kedaulatan" dalam segala hal.
Lalu saya teringat, sebuah program bernama OVOP movement, atau gerakan OVOP. Gerakan ini awalnya diinisiasi warga desa (bottom up), yang akhirnya dicanangkan menjadi program Provinsi. Saat ini ditiru hampir di seluruh negara berkembang termasuk Indonesia. ( silahkan membaca lebih jauh sejarah dan konsep OVOP dihttp://www.facebook.com/groups/millennial/doc/184045985010338/ )
Gerakan One Village One Product (OVOP Movement) adalah suatu gerakan revitalisasi daerah di Propinsi Oita yang dicanangkan pada tahun 1979 dan diterapkan di seluruh Kabupaten pada tahun 1980, untuk mencari atau menciptakan apa yang menjadi merk daerah atau apa yang dirasakan kebanggaan daerah (local advantage), lalu meningkatkan isi dan mutunya, sehingga dapat diterima dan diakui nilainya secara nasional dan secara internasional.
Sebenarnya kegiatan revitalisasi serupa atas inisiatif masyarakat beberapa desa (bottom up), meskipun belum ada istilah OVOP waktu itu, sudah lama dilaksanakan oleh berbagai desa di Propinsi Oita agar desa-desa tersebut bertahan ke masa depan. Terutama, gerakan revitalisasi di desa Oyama atau desa Yufuin menjadi "lesson learned" buat Mr. Hiramatsu, sehingga kemudian dia memunculkan ide OVOP.
Gerakan ini menurut saya bukan sekedar gerakan ekonomi untuk "menaikkan pendapatan", ini adalah gerakan perubahan sosial budaya dan moral, gerakan kreatif menemukan keunikan potensi dan gerakan pendidikan menemukan local leader yg tangguh secara sustainable atau berkelanjutan.
Gerakan OVOP ini kemudian menjalar ke Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia bahkan ke negara-negara "setidaknya" berkembang di Afrika dan Amerika Latin.
Sebenarnya apa yg melatarbelakangi gerakan OVOP ?
Yang Pertama adalah masalah "lost generation", diakibatkan urbanisasi, konsentrasi dan kepadatan populasi di perkotaan dan kesepian populasi di perdesaan, sehingga perdesaan menghilangkan vitalitas dan menurunkan kegiatan ekonomi. Para pemuda di desa banyak yang terserap di pabrik dan industri perkotaan. Kondisi ini mirip dengan kondisi Indonesia.
Yang Kedua untuk menghidupkan kembali spirit dan vitalitas di perdesaan, perlu membangkitkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran perdesaan tersebut. Beberapa desa "melawan" kebijakan pusat, misalnya tentang Swasembada Beras, karena kondisi geografis lahan desa tidak sesuai ditanami padi. Kolaboratif (bukan kompetitif) antar desa menjadi pintu kerjasama "barter" product untuk saling mendukung dan menghidupi. Penemuan kegiatan ekonomi yang "unik" dan memberi kenyamanan dan rasa gembira pada penduduk desa adalah hal yang teramat penting.
Yang Ketiga keperluan untuk mandiri, yaitu mengurangi rasa ketergantungan masyarakat desa yang terlalu tinggi terhadap pemerintah daerah dan perlu menciptakan inisiatif dan semangat revitalisasi dalam masyarakat desa. Gerakan OVOP bukan sekedar gerakan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan, namun gerakan moral atas perubahan kondisi "peradaban" desa. Peran pendidikan untuk melahirkan "local leader" yang terlibat langsung dalam aktifitas OVOP menjadi teramat penting. Saya kira 90% kesuksesan OVOP adalah Leadership.
Dari latar belakang itulah, lahir prinsip-prinsip OVOP
Prinsip 1: Pikiran secara Global, Kegiatan secara Lokal (Think Global, Act Local),
Yaitu semakin lokal sebuah produk maka akan semakin unik dan semakin diterima di pasar global. Semakin asli dan khas sebuah komoditas, maka semakin internasional dan semakin dicari orang krn hanya ada di daerah itu. Tinggal dibutuhkan sentuhan trend, kemasan yg baik, layanan yg excellent dstnya. Indonesia sangat beragam, ada ribuan keragaman seni budaya dan ada ribuan keragaman hayati, itu berarti ada jutaan cita rasa yang unik yang dicari orang. Anda bisa menjumpai banyak makanan bernama "tahu", tetapi anda tidak pernah bisa menemukan dan menggantikan enaknya tahu sumedang bila langsung diproduksi di sumedang.
Jadi sungguh program "One Village One Product" adalah program yg genius untuk mengembangkan produk keunggulan dan keunikan lokal yang bernilai dan dinilai tinggi secara global.
Prinsip 2: Usaha Mandiri dengan Inisiatif dan Kreativitas
Pemodalan dan resource dari pemerintah hanya berhenti pada kalkulasi resiko dan untung sehingga sulit berkelanjutan, namun pemodalan dan resource mandiri akan mendorong warga untuk sungguh-sungguh. Produk atas inisiatif warga, membuat warga merasa nyaman dan bergairah. Pemerintah hanya cukup memberikan dukungan infrastruktur jalan dan kemudahan rantai supply.
Jadi sungguh program "One Village One Product" adalah program yg genius untuk mengembangkan "kemandirian" dan ketangguhan masyarakat desa. Secara jangka panjang, ini akan membentuk budaya yang luar biasa.
Prinsip 3: Perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Kunci keberhasilan kedua prinsip local advantage dan kemandirian perdesaan adalah adanya "local leader". Mereka yg bertanggungjawab penuh atas keberhasilan program gerakan kemandirian dan keunggulan lokal ini. Mereka bisa bertahan panjang baik dalam bekerja maupun mendapatkan benefit dalam waktu yg lama. Hal yg tidak dijumpai pada "investor luar" atau "entrepreneur luar", yang berharap keuntungan dalam waktu cepat, dan segera lari bila program tidak berhasil.
Inilah pentingnya Local Leader. Karenanya belajar dari Gubernur Propinsi Oita, dimana OVOP ini lahir, salah satu proses penting pelaksanaan OVOP yg dilakukan adalah kampanye, penglibatan lembaga riset dan pendidikan, yaitu membentuk pondok-pondok belajar (sekolah kecil) di berbagai tempat di dalam propinsi untuk menghasilkan local leader yang menjadi pelopor dan pengerak OVOP di desa-desa.
Jadi demi pengembangan produk keunggulan lokal yg unik dan pembangunan kemandirian desa serta pengkaderan "Local Leader", tidak berlebihan jika saya menambahkan:
"One Village - One Product - ONE SCHOOL!!"
Salam Pendidikan Masa Depan
Selain program yg tidak "bersinergi", tumpang tindih, penyeragaman alias Top Down juga pada level negara tidak memiliki "kebanggaan" pada product sendiri dan tidak memiliki "kedaulatan" dalam segala hal.
Lalu saya teringat, sebuah program bernama OVOP movement, atau gerakan OVOP. Gerakan ini awalnya diinisiasi warga desa (bottom up), yang akhirnya dicanangkan menjadi program Provinsi. Saat ini ditiru hampir di seluruh negara berkembang termasuk Indonesia. ( silahkan membaca lebih jauh sejarah dan konsep OVOP dihttp://www.facebook.com/groups/millennial/doc/184045985010338/ )
Gerakan One Village One Product (OVOP Movement) adalah suatu gerakan revitalisasi daerah di Propinsi Oita yang dicanangkan pada tahun 1979 dan diterapkan di seluruh Kabupaten pada tahun 1980, untuk mencari atau menciptakan apa yang menjadi merk daerah atau apa yang dirasakan kebanggaan daerah (local advantage), lalu meningkatkan isi dan mutunya, sehingga dapat diterima dan diakui nilainya secara nasional dan secara internasional.
Sebenarnya kegiatan revitalisasi serupa atas inisiatif masyarakat beberapa desa (bottom up), meskipun belum ada istilah OVOP waktu itu, sudah lama dilaksanakan oleh berbagai desa di Propinsi Oita agar desa-desa tersebut bertahan ke masa depan. Terutama, gerakan revitalisasi di desa Oyama atau desa Yufuin menjadi "lesson learned" buat Mr. Hiramatsu, sehingga kemudian dia memunculkan ide OVOP.
Gerakan ini menurut saya bukan sekedar gerakan ekonomi untuk "menaikkan pendapatan", ini adalah gerakan perubahan sosial budaya dan moral, gerakan kreatif menemukan keunikan potensi dan gerakan pendidikan menemukan local leader yg tangguh secara sustainable atau berkelanjutan.
Gerakan OVOP ini kemudian menjalar ke Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia bahkan ke negara-negara "setidaknya" berkembang di Afrika dan Amerika Latin.
Sebenarnya apa yg melatarbelakangi gerakan OVOP ?
Yang Pertama adalah masalah "lost generation", diakibatkan urbanisasi, konsentrasi dan kepadatan populasi di perkotaan dan kesepian populasi di perdesaan, sehingga perdesaan menghilangkan vitalitas dan menurunkan kegiatan ekonomi. Para pemuda di desa banyak yang terserap di pabrik dan industri perkotaan. Kondisi ini mirip dengan kondisi Indonesia.
Yang Kedua untuk menghidupkan kembali spirit dan vitalitas di perdesaan, perlu membangkitkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran perdesaan tersebut. Beberapa desa "melawan" kebijakan pusat, misalnya tentang Swasembada Beras, karena kondisi geografis lahan desa tidak sesuai ditanami padi. Kolaboratif (bukan kompetitif) antar desa menjadi pintu kerjasama "barter" product untuk saling mendukung dan menghidupi. Penemuan kegiatan ekonomi yang "unik" dan memberi kenyamanan dan rasa gembira pada penduduk desa adalah hal yang teramat penting.
Yang Ketiga keperluan untuk mandiri, yaitu mengurangi rasa ketergantungan masyarakat desa yang terlalu tinggi terhadap pemerintah daerah dan perlu menciptakan inisiatif dan semangat revitalisasi dalam masyarakat desa. Gerakan OVOP bukan sekedar gerakan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan, namun gerakan moral atas perubahan kondisi "peradaban" desa. Peran pendidikan untuk melahirkan "local leader" yang terlibat langsung dalam aktifitas OVOP menjadi teramat penting. Saya kira 90% kesuksesan OVOP adalah Leadership.
Dari latar belakang itulah, lahir prinsip-prinsip OVOP
Prinsip 1: Pikiran secara Global, Kegiatan secara Lokal (Think Global, Act Local),
Yaitu semakin lokal sebuah produk maka akan semakin unik dan semakin diterima di pasar global. Semakin asli dan khas sebuah komoditas, maka semakin internasional dan semakin dicari orang krn hanya ada di daerah itu. Tinggal dibutuhkan sentuhan trend, kemasan yg baik, layanan yg excellent dstnya. Indonesia sangat beragam, ada ribuan keragaman seni budaya dan ada ribuan keragaman hayati, itu berarti ada jutaan cita rasa yang unik yang dicari orang. Anda bisa menjumpai banyak makanan bernama "tahu", tetapi anda tidak pernah bisa menemukan dan menggantikan enaknya tahu sumedang bila langsung diproduksi di sumedang.
Jadi sungguh program "One Village One Product" adalah program yg genius untuk mengembangkan produk keunggulan dan keunikan lokal yang bernilai dan dinilai tinggi secara global.
Prinsip 2: Usaha Mandiri dengan Inisiatif dan Kreativitas
Pemodalan dan resource dari pemerintah hanya berhenti pada kalkulasi resiko dan untung sehingga sulit berkelanjutan, namun pemodalan dan resource mandiri akan mendorong warga untuk sungguh-sungguh. Produk atas inisiatif warga, membuat warga merasa nyaman dan bergairah. Pemerintah hanya cukup memberikan dukungan infrastruktur jalan dan kemudahan rantai supply.
Jadi sungguh program "One Village One Product" adalah program yg genius untuk mengembangkan "kemandirian" dan ketangguhan masyarakat desa. Secara jangka panjang, ini akan membentuk budaya yang luar biasa.
Prinsip 3: Perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Kunci keberhasilan kedua prinsip local advantage dan kemandirian perdesaan adalah adanya "local leader". Mereka yg bertanggungjawab penuh atas keberhasilan program gerakan kemandirian dan keunggulan lokal ini. Mereka bisa bertahan panjang baik dalam bekerja maupun mendapatkan benefit dalam waktu yg lama. Hal yg tidak dijumpai pada "investor luar" atau "entrepreneur luar", yang berharap keuntungan dalam waktu cepat, dan segera lari bila program tidak berhasil.
Inilah pentingnya Local Leader. Karenanya belajar dari Gubernur Propinsi Oita, dimana OVOP ini lahir, salah satu proses penting pelaksanaan OVOP yg dilakukan adalah kampanye, penglibatan lembaga riset dan pendidikan, yaitu membentuk pondok-pondok belajar (sekolah kecil) di berbagai tempat di dalam propinsi untuk menghasilkan local leader yang menjadi pelopor dan pengerak OVOP di desa-desa.
Jadi demi pengembangan produk keunggulan lokal yg unik dan pembangunan kemandirian desa serta pengkaderan "Local Leader", tidak berlebihan jika saya menambahkan:
"One Village - One Product - ONE SCHOOL!!"
Salam Pendidikan Masa Depan