Program ini secara resmi diluncurkan pada tanggal 14 Pebruari 2007 oleh Presiden yang sekaligus juga mengumumkan keterlibatan tujuh departemen untuk berperan dalam kegiatan-kegiatan program yang terkait dengan kewenangannya. Ketujuh departemen tersebut adalah Departemen Energi dan Sumberdaya Alam, Departemen Pertanian, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementrian Negara BUMN, dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Desa Mandiri Energi (DME) merupakan desa yang memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri yang berasal dari sumber-sumber energi baru dan terbarukan, seperti biofuel, terutama yang didapat dari minyak jarak pagar, energi bayu, energi surya maupun mikrohidro. Pada prinsipnya, program ini mendorong masyarakat untuk menyediakan energi yang cukup bagi desanya sendiri. Sehingga dapat membuka kesempatan kerja baru, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan kegiatan-kegiatan lain yang produktif. Desa-desa ini tidak termasuk dalam kategori derah tertinggal, namun mempunyai potensi untuk mandiri dalam energi, sehingga dapat memberikan kelebihan energi kepada pihak-pihak lain.
Desa Mandiri Energi merupakan strategi untuk mempercepat pembangunan di daerah-daerah yang kurang subur. Pemerintah akan menyediakan tanaman bioenergi seperti Japonica curcas, tebu, kelapa sawit, dan ubikayu sebagai sumber bahan bakar bio (bio-fuel) untuk dikembangkan di desa-desa tertentu. Departemen Pertanian akan memimpin pengkajian daerah-daerah potensial dan mendiseminasikan paket-paket teknologi terapan untuk setiap jenis tanaman tersebut.
Jadi intinya yang dimaksud Desa Mandiri Energi (DME), adalah desa yang dapat menyediakan energi dari desa itu sendiri. Disamping itu, DME dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan serta memberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif.
Ada dua tipe Desa Mandiri Energi, pertama adalah Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas. Yang kedua adalah Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau bioufuel. Total Desa Mandiri Energi yang terletak di 81 kabupaten berjumlah sekitar 100 desa yang menggunakan bio-fuel, dan 40 desa menggunakan non BBM. Tahun ini (2007) Presiden meminta untuk meningkatkan jumlah dari 150 Desa Mandiri Energi ditingkatkan menjadi 200 Desa Mandiri Energi. Bahkan pada akhir kabinet Presiden ingin meningkatkan lagi menjadi 2000 Desa Mandiri Energi, masing-masing 1000 desa yang menggunakan bio-fuel dan non BBM.
Presiden SBY juga meminta untuk menghitung kembali kebutuhan dana yang akan digunakan untuk membiayai Desa Mandiri Energi. Penghitungan ini akan dikoordinasi Menko Perekonomian dan Menko Kesra. Minggu depan akan diadakan peninjauan yang rencananya dilakukan Presiden sendiri di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah.
Penjelasan di atas diberikan oleh Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1, didampingi Mentan Anton Apriyantono dan Ketua Timnas Pengembangan BBN Al Hilal Hamdi.
sumber: http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/02/14/1573.html
Sepanjang tahun 2007, program ini dilaksanakan di 200 desa, sedangkan pada tahun 2006, kegiatan yang sama dilaksanakan di 100 desa (menggunakan bio-fuel), dan 40 desa (menggunakan non bio-energy) sehingga total mencapai 120 desa di 81 kabupaten. Sebelum tahun 2009, 2.000 desa dari sekitar 7.000 desa di Indonesia diharapkan mencapai swasembada energi. Lokasi program ini dipilih desa-desa yang mempunyai ketergantungan sangat tinggi terhadap pasokan energi dari luar wilayahnya.
Tahun 2009 - 2010
Pemerintah menargetkan desa mandiri energi (DME) pada 2010 bertambah sekitar 350 desa dan akan terus dipercepat hingga 3.000 desa pada 2014. Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurti mengatakan jumlah DME hingga saat ini sebanyak 633 desa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Investasi 633 DME sejak tiga tahun lalu mencapai Rp895 miliar dan terjadi penghematan BBM dari program ini senilai Rp 1,2 triliun, katanya di sela Temu Nasional Desa Mandiri Energi di Bandung, Senin (23/11) di Bandung.
Dia mengemukakan dari 633 DME, sebanyak 244 desa menggunakan sumber daya air, 237 desa menggunakan bahan bakar nabati, 125 desa menggunakan tenaga surya, 14 desa menggunakan biogas, 12 desa menggunakan tenaga angin, dan 1 desa menggunakan biomassa.
Dia mengemukakan sumber pendanaan untuk program DME ini, antara lain berasal dari departemen teknis, yaitu Departemen ESDM (233 desa), Departemen Percepatan Desa Tertinggal (156 desa), dan Departemen Pertanian (144 desa). Sementara itu, ada 23 desa menggunakan dana swadaya.
Untuk percepatan pembangunan DME, katanya, Kementerian Perekonomian akan mendorong desa-desa mengakses dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang ketersediaan dananya cukup besar sekitar Rp 56 triliun.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/23/20130850/2010.Desa.Mandiri.Energi.Ditargetkan.Bertambah.350.Unit
Desa Mandiri Energi merupakan strategi untuk mempercepat pembangunan di daerah-daerah yang kurang subur. Pemerintah akan menyediakan tanaman bioenergi seperti Japonica curcas, tebu, kelapa sawit, dan ubikayu sebagai sumber bahan bakar bio (bio-fuel) untuk dikembangkan di desa-desa tertentu. Departemen Pertanian akan memimpin pengkajian daerah-daerah potensial dan mendiseminasikan paket-paket teknologi terapan untuk setiap jenis tanaman tersebut.
Jadi intinya yang dimaksud Desa Mandiri Energi (DME), adalah desa yang dapat menyediakan energi dari desa itu sendiri. Disamping itu, DME dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan serta memberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif.
Ada dua tipe Desa Mandiri Energi, pertama adalah Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas. Yang kedua adalah Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau bioufuel. Total Desa Mandiri Energi yang terletak di 81 kabupaten berjumlah sekitar 100 desa yang menggunakan bio-fuel, dan 40 desa menggunakan non BBM. Tahun ini (2007) Presiden meminta untuk meningkatkan jumlah dari 150 Desa Mandiri Energi ditingkatkan menjadi 200 Desa Mandiri Energi. Bahkan pada akhir kabinet Presiden ingin meningkatkan lagi menjadi 2000 Desa Mandiri Energi, masing-masing 1000 desa yang menggunakan bio-fuel dan non BBM.
Presiden SBY juga meminta untuk menghitung kembali kebutuhan dana yang akan digunakan untuk membiayai Desa Mandiri Energi. Penghitungan ini akan dikoordinasi Menko Perekonomian dan Menko Kesra. Minggu depan akan diadakan peninjauan yang rencananya dilakukan Presiden sendiri di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah.
Penjelasan di atas diberikan oleh Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1, didampingi Mentan Anton Apriyantono dan Ketua Timnas Pengembangan BBN Al Hilal Hamdi.
sumber: http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/02/14/1573.html
Sepanjang tahun 2007, program ini dilaksanakan di 200 desa, sedangkan pada tahun 2006, kegiatan yang sama dilaksanakan di 100 desa (menggunakan bio-fuel), dan 40 desa (menggunakan non bio-energy) sehingga total mencapai 120 desa di 81 kabupaten. Sebelum tahun 2009, 2.000 desa dari sekitar 7.000 desa di Indonesia diharapkan mencapai swasembada energi. Lokasi program ini dipilih desa-desa yang mempunyai ketergantungan sangat tinggi terhadap pasokan energi dari luar wilayahnya.
Tahun 2009 - 2010
Pemerintah menargetkan desa mandiri energi (DME) pada 2010 bertambah sekitar 350 desa dan akan terus dipercepat hingga 3.000 desa pada 2014. Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurti mengatakan jumlah DME hingga saat ini sebanyak 633 desa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Investasi 633 DME sejak tiga tahun lalu mencapai Rp895 miliar dan terjadi penghematan BBM dari program ini senilai Rp 1,2 triliun, katanya di sela Temu Nasional Desa Mandiri Energi di Bandung, Senin (23/11) di Bandung.
Dia mengemukakan dari 633 DME, sebanyak 244 desa menggunakan sumber daya air, 237 desa menggunakan bahan bakar nabati, 125 desa menggunakan tenaga surya, 14 desa menggunakan biogas, 12 desa menggunakan tenaga angin, dan 1 desa menggunakan biomassa.
Dia mengemukakan sumber pendanaan untuk program DME ini, antara lain berasal dari departemen teknis, yaitu Departemen ESDM (233 desa), Departemen Percepatan Desa Tertinggal (156 desa), dan Departemen Pertanian (144 desa). Sementara itu, ada 23 desa menggunakan dana swadaya.
Untuk percepatan pembangunan DME, katanya, Kementerian Perekonomian akan mendorong desa-desa mengakses dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang ketersediaan dananya cukup besar sekitar Rp 56 triliun.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/23/20130850/2010.Desa.Mandiri.Energi.Ditargetkan.Bertambah.350.Unit
Tahun 2011
Desa Mandiri Energi Bohong- bohongan?
Penggerak petani jarak di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Suhari, Kamis (3/3), memperlihatkan bantuan yang diterima sebanyak tiga kompor berbahan bakar nabati. Kompor kanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kompor tengah dari Protos, dan kompor kiri dari Perhutani. Ketiga kompor itu kini tak berfungsi tanpa ada minyak nabati.
”Desa Mandiri Energi itu program bohong- bohongan,” ujar Suhari, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Tanjung Harjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Suhari, pekan lalu, menunjukkan tiga kompor berbahan bakar minyak jarak di gudang rumahnya. Beberapa gerumbul pohon jarak yang dulu diharapkan hasilnya hanya menjadi penghias pagar rumah.
Itulah sisa program Desa Mandiri Energi (DME) yang dicanangkan meriah tahun 2007.
sumber "http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/18/09224758/Desa.Mandiri.Energi.Bohong-.bohongan
Program DME diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2007 di Kabupaten Grobogan. Tanaman jarak sebenarnya cukup dikenal masyarakat Grobogan, banyak dibudidayakan ketika Jepang menguasai Indonesia.
Grobogan diharapkan menjadi percontohan program nasional pemanfaatan jarak pagar untuk bahan bakar nabati. Selain menyampaikan bantuan pengembangan sebesar Rp 10 miliar dan kompor secara simbolis, Presiden juga sempat mencicipi tempe dan tahu goreng yang dimasak dengan kompor berbahan bakar minyak jarak.
Kriteria desa mandiri energi adalah mampu memenuhi sendiri 60 persen kebutuhan energi untuk memasak, transportasi, dan listrik. Tanaman jarak (Jatropha sp) dipilih sebagai sumber bahan bakar nabati dengan pertimbangan bisa bertahan hidup di lahan kritis dan tidak bersaing dengan keperluan pangan.Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Desa Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sebagai Desa Mandiri Energi sejak Februari 2007 ternyata gagal.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/07/16112734/Gagal.Desa.Mandiri.Energi.di.Grobogan.
Kepala Desa Tanjunghardjo, Kecamatan Ngaringan, Sugiyono, Senin (7/3/2011), mengatakan, kegagalan mewujudkan Desa Mandiri Energi itu terjadi setelah pabrik pengolah minyak jarak yang dibangun tidak pernah berproduksi atau mengolah biji tanaman jarak.
Pabrik pengolah biji jarak seluas dua hektar di Desa Tanjungharjo itu kini mangkrak sejak dikunjungi Presiden beberapa tahun silam. "Pabrik yang dibangun oleh PT Enhil itu malah kini menunggak pajak bumi dan bangunan senilai Rp 700.000, yang pihak desa bingung mau menagihnya ke mana?" ujar Sugiyono.
Dampak dari gagalnya mewujudkan Desa Mandiri Energi juga menyebabkan puluhan kompor minyak jarak yang diterima warga tidak berfungsi. Kebun tanaman jarak yang pernah dikelola oleh petani di Tanjungharjo, luasnya pernah mencapai 45 hektar, kini sudah tidak tampak bekasnya.
Banyak petani beramai-ramai membabat tanaman jarak sejak 2009, setelah harga biji jarak basah jatuh di kisaran Rp 600 per kilogram. Ketika harga jarak jatuh, pembeli yang adalah petugas dari bantuan PT Pertamina juga kabur dan tidak lagi mendatangi rumah para ketua kelompok tani tanaman jarak di Ngaringan, Kabupaten Grobogan.
Kecewa
Untuk mendukung program DME, di Grobogan lalu berdiri pabrik pengolahan biji jarak yang dikelola PT Energi Hijau Lestari (Enhil). Enhil menggandeng PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai pembeli siaga (offtaker) minyak jarak petani Kecamatan Ngaringan.
Menurut Suhari, awalnya kelompok tani di desa itu antusias menanam, tetapi kemudian kecewa karena buahnya jarang meski tanaman subur. ”PT Enhil sempat membeli jarak petani, tetapi cuma Rp 700 per kilogram dari janji Rp 1.500,” kata Suhari.
Setelah beberapa bulan pabrik berhenti beroperasi. Masyarakat tidak pernah mendapat informasi jelas dari pabrik. Suhari mengatakan, sempat ada pendampingan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Grobogan dan kemudian dari PT Pertamina.
”Pernah ada petugas lapangan dari Pertamina, tetapi tidak memberikan penyuluhan yang benar. Buktinya, buah jarak tetap tidak ada hasilnya. Sekarang tanaman sudah tidak ada. Sementara masyarakat tahunya ada dana Rp 10 miliar. Masih banyak yang datang menanyakan, padahal kelompok tani hanya sekali mendapat bantuan Rp 83 juta,” tutur Suhari.
Marsiul, Komisaris PT Enhil, mengatakan, pabrik tutup karena inkonsistensi pemerintah dan BUMN yang terkait dengan program itu. ”Dulu pabrik dibangun atas dasar kerja sama dengan RNI sebagai offtaker. Katanya, mereka mau pakai minyak jarak untuk menggantikan blothong dan solar sebagai bahan bakar pabrik gulanya. Eh, ternyata program mereka tidak lanjut,” kata Marsiul.
Mantan Manajer Program Kemitraan Bina Lingkungan PT Pertamina Rudi Sastiawan menceritakan, dana Rp 10 miliar itu berasal dari patungan tiga BUMN: Pertamina, PT RNI, dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). ”Biasalah, kalau ada kunjungan Pak SBY, harus ada sumbangan ke masyarakat. Waktu itu yang ditanya Pertamina, PGN, dan RNI. Akhirnya Pertamina menyumbang Rp 9,9 miliar, PGN dan RNI masing-masing Rp 50 juta, jadi total Rp 10 miliar,” ujar Rudi.
Dana tersebut semula akan diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi akhirnya PT Pertamina melanjutkan sendiri program bahan bakar nabati dengan mendirikan pabrik biodiesel di Kecamatan Toroh, Grobogan. Dari dana Rp 10 miliar itu, sekitar Rp 4 miliar digunakan untuk membangun pabrik, Rp 3,7 miliar untuk bibit, dan Rp 2,1 miliar untuk pelatihan petani.
Wartono, mantan pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan Dusun Ngrijo, Kelurahan Jatipohon, Kabupaten Grobogan, merasakan juga kekecewaan masyarakat atas pelaksanaan program pemanfaatan jarak untuk bahan bakar nabati. Ketika panen, jarak hanya dihargai Rp 1.100 per kilogram, jauh lebih murah dibandingkan jagung yang Rp 2.000. ”Masyarakat merasa dibohongi. Setelah itu kontan minat menanam langsung turun,” ujar dia.
Anggota kelompoknya, yang semula 200 orang, sekarang tersisa tiga orang. Tinggal Wartono yang masih percaya pada prospek jarak, terutama jika dikelola dengan sistem tumpang sari.
Desa Mandiri Energi Bohong- bohongan?
Penggerak petani jarak di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Suhari, Kamis (3/3), memperlihatkan bantuan yang diterima sebanyak tiga kompor berbahan bakar nabati. Kompor kanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kompor tengah dari Protos, dan kompor kiri dari Perhutani. Ketiga kompor itu kini tak berfungsi tanpa ada minyak nabati.
”Desa Mandiri Energi itu program bohong- bohongan,” ujar Suhari, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Tanjung Harjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Suhari, pekan lalu, menunjukkan tiga kompor berbahan bakar minyak jarak di gudang rumahnya. Beberapa gerumbul pohon jarak yang dulu diharapkan hasilnya hanya menjadi penghias pagar rumah.
Itulah sisa program Desa Mandiri Energi (DME) yang dicanangkan meriah tahun 2007.
sumber "http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/18/09224758/Desa.Mandiri.Energi.Bohong-.bohongan
Program DME diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2007 di Kabupaten Grobogan. Tanaman jarak sebenarnya cukup dikenal masyarakat Grobogan, banyak dibudidayakan ketika Jepang menguasai Indonesia.
Grobogan diharapkan menjadi percontohan program nasional pemanfaatan jarak pagar untuk bahan bakar nabati. Selain menyampaikan bantuan pengembangan sebesar Rp 10 miliar dan kompor secara simbolis, Presiden juga sempat mencicipi tempe dan tahu goreng yang dimasak dengan kompor berbahan bakar minyak jarak.
Kriteria desa mandiri energi adalah mampu memenuhi sendiri 60 persen kebutuhan energi untuk memasak, transportasi, dan listrik. Tanaman jarak (Jatropha sp) dipilih sebagai sumber bahan bakar nabati dengan pertimbangan bisa bertahan hidup di lahan kritis dan tidak bersaing dengan keperluan pangan.Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Desa Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sebagai Desa Mandiri Energi sejak Februari 2007 ternyata gagal.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/07/16112734/Gagal.Desa.Mandiri.Energi.di.Grobogan.
Kepala Desa Tanjunghardjo, Kecamatan Ngaringan, Sugiyono, Senin (7/3/2011), mengatakan, kegagalan mewujudkan Desa Mandiri Energi itu terjadi setelah pabrik pengolah minyak jarak yang dibangun tidak pernah berproduksi atau mengolah biji tanaman jarak.
Pabrik pengolah biji jarak seluas dua hektar di Desa Tanjungharjo itu kini mangkrak sejak dikunjungi Presiden beberapa tahun silam. "Pabrik yang dibangun oleh PT Enhil itu malah kini menunggak pajak bumi dan bangunan senilai Rp 700.000, yang pihak desa bingung mau menagihnya ke mana?" ujar Sugiyono.
Dampak dari gagalnya mewujudkan Desa Mandiri Energi juga menyebabkan puluhan kompor minyak jarak yang diterima warga tidak berfungsi. Kebun tanaman jarak yang pernah dikelola oleh petani di Tanjungharjo, luasnya pernah mencapai 45 hektar, kini sudah tidak tampak bekasnya.
Banyak petani beramai-ramai membabat tanaman jarak sejak 2009, setelah harga biji jarak basah jatuh di kisaran Rp 600 per kilogram. Ketika harga jarak jatuh, pembeli yang adalah petugas dari bantuan PT Pertamina juga kabur dan tidak lagi mendatangi rumah para ketua kelompok tani tanaman jarak di Ngaringan, Kabupaten Grobogan.
Kecewa
Untuk mendukung program DME, di Grobogan lalu berdiri pabrik pengolahan biji jarak yang dikelola PT Energi Hijau Lestari (Enhil). Enhil menggandeng PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai pembeli siaga (offtaker) minyak jarak petani Kecamatan Ngaringan.
Menurut Suhari, awalnya kelompok tani di desa itu antusias menanam, tetapi kemudian kecewa karena buahnya jarang meski tanaman subur. ”PT Enhil sempat membeli jarak petani, tetapi cuma Rp 700 per kilogram dari janji Rp 1.500,” kata Suhari.
Setelah beberapa bulan pabrik berhenti beroperasi. Masyarakat tidak pernah mendapat informasi jelas dari pabrik. Suhari mengatakan, sempat ada pendampingan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Grobogan dan kemudian dari PT Pertamina.
”Pernah ada petugas lapangan dari Pertamina, tetapi tidak memberikan penyuluhan yang benar. Buktinya, buah jarak tetap tidak ada hasilnya. Sekarang tanaman sudah tidak ada. Sementara masyarakat tahunya ada dana Rp 10 miliar. Masih banyak yang datang menanyakan, padahal kelompok tani hanya sekali mendapat bantuan Rp 83 juta,” tutur Suhari.
Marsiul, Komisaris PT Enhil, mengatakan, pabrik tutup karena inkonsistensi pemerintah dan BUMN yang terkait dengan program itu. ”Dulu pabrik dibangun atas dasar kerja sama dengan RNI sebagai offtaker. Katanya, mereka mau pakai minyak jarak untuk menggantikan blothong dan solar sebagai bahan bakar pabrik gulanya. Eh, ternyata program mereka tidak lanjut,” kata Marsiul.
Mantan Manajer Program Kemitraan Bina Lingkungan PT Pertamina Rudi Sastiawan menceritakan, dana Rp 10 miliar itu berasal dari patungan tiga BUMN: Pertamina, PT RNI, dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). ”Biasalah, kalau ada kunjungan Pak SBY, harus ada sumbangan ke masyarakat. Waktu itu yang ditanya Pertamina, PGN, dan RNI. Akhirnya Pertamina menyumbang Rp 9,9 miliar, PGN dan RNI masing-masing Rp 50 juta, jadi total Rp 10 miliar,” ujar Rudi.
Dana tersebut semula akan diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi akhirnya PT Pertamina melanjutkan sendiri program bahan bakar nabati dengan mendirikan pabrik biodiesel di Kecamatan Toroh, Grobogan. Dari dana Rp 10 miliar itu, sekitar Rp 4 miliar digunakan untuk membangun pabrik, Rp 3,7 miliar untuk bibit, dan Rp 2,1 miliar untuk pelatihan petani.
Wartono, mantan pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan Dusun Ngrijo, Kelurahan Jatipohon, Kabupaten Grobogan, merasakan juga kekecewaan masyarakat atas pelaksanaan program pemanfaatan jarak untuk bahan bakar nabati. Ketika panen, jarak hanya dihargai Rp 1.100 per kilogram, jauh lebih murah dibandingkan jagung yang Rp 2.000. ”Masyarakat merasa dibohongi. Setelah itu kontan minat menanam langsung turun,” ujar dia.
Anggota kelompoknya, yang semula 200 orang, sekarang tersisa tiga orang. Tinggal Wartono yang masih percaya pada prospek jarak, terutama jika dikelola dengan sistem tumpang sari.
Potensi besar
Meski minat petani sudah surut, potensi tanaman jarak di Kabupaten Grobogan masih sangat besar. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah mencatat, tanaman jarak di Jawa Tengah mencapai 3.330,71 hektar.
Tak heran apabila justru perusahaan swasta yang berlomba mencari biji jarak langsung ke petani. Minyak jarak di luar negeri digunakan sebagai minyak goreng, sabun, dan kosmetik. PT Waterland Asia Bio Ventures memiliki pabrik di Desa Danyang, Kecamatan Purwodadi. Adapun PT D1 Oils Interna- tional yang mengambil alih pabrik milik PT Enhil berencana memindahkan pabrik ke Dusun Ngrijo.
Petugas pembelian PT D1 Oils Indonesia, Edy Tegoeh Joelijanto, mengatakan, pihaknya mulai membeli jarak dari petani yang mengolah lahan milik Perhutani dan berbicara dengan sejumlah kepala kesatuan pemangkuan hutan Perhutani untuk menjajaki kerja sama.
Ia paham, perlu waktu cukup lama untuk meyakinkan petani yang kecewa berat dengan janji pemerintah dulu. ”Mereka disuruh menanam, tapi pasarnya tidak disiapkan. Begitu pabrik tutup, ya bubar,” kata Teguh.
Setiap biji jarak kering yang terkumpul menumbuhkan harapan kembalinya kepercayaan masyarakat bahwa tanaman jarak bisa menghasilkan apabila dikelola secara baik dan bukan program kebohongan....
Minyak Jarak Gorontalo Diminati Korsel
Tanaman jarak memiliki prospek masa depan yang menjanjikan sebagai bahan bakar alternatif untuk menggantikan minyak bumi.
Sebuah perusahaan di bidang perminyakan Korea Selatan, GS Caltex, berminat untuk membeli minyak jarak mentah dari Provinsi Gorontalo. Selain itu, mereka bersedia untuk mendatangkan biomas jagung, padi, tempurung kelapa, dan sabut kelapa sebanyak 6.000 ton per bulan. Ini adalah peluang besar bagi Provinsi Gorontalo.
"Khusus minyak jarak tersebut, tidak ada batasan jumlah yang diminta. Mereka akan membeli seberapa pun yang bisa dihasilkan oleh Provinsi Gorontalo. Kami sedang menyusun kemungkinan itu dan pada bulan Maret nanti akan memberi jawaban kepada investor," kata juru bicara Gubernur Gorontalo, Mansir Mudeng, Minggu (13/2/2011) di Kota Gorontalo.
Selama ini, Provinsi Gorontalo dikenal sebagai pengekspor jagung ke beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Saudi Arabia. Tingginya permintaan jagung dari luar negeri yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun membuat Gorontalo kewalahan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, kemampuan produki jagung hanya sekitar 670.000 ton per tahun.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/13/18495612/Minyak.Jarak.Gorontalo.Diminati.Korsel
Meski minat petani sudah surut, potensi tanaman jarak di Kabupaten Grobogan masih sangat besar. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah mencatat, tanaman jarak di Jawa Tengah mencapai 3.330,71 hektar.
Tak heran apabila justru perusahaan swasta yang berlomba mencari biji jarak langsung ke petani. Minyak jarak di luar negeri digunakan sebagai minyak goreng, sabun, dan kosmetik. PT Waterland Asia Bio Ventures memiliki pabrik di Desa Danyang, Kecamatan Purwodadi. Adapun PT D1 Oils Interna- tional yang mengambil alih pabrik milik PT Enhil berencana memindahkan pabrik ke Dusun Ngrijo.
Petugas pembelian PT D1 Oils Indonesia, Edy Tegoeh Joelijanto, mengatakan, pihaknya mulai membeli jarak dari petani yang mengolah lahan milik Perhutani dan berbicara dengan sejumlah kepala kesatuan pemangkuan hutan Perhutani untuk menjajaki kerja sama.
Ia paham, perlu waktu cukup lama untuk meyakinkan petani yang kecewa berat dengan janji pemerintah dulu. ”Mereka disuruh menanam, tapi pasarnya tidak disiapkan. Begitu pabrik tutup, ya bubar,” kata Teguh.
Setiap biji jarak kering yang terkumpul menumbuhkan harapan kembalinya kepercayaan masyarakat bahwa tanaman jarak bisa menghasilkan apabila dikelola secara baik dan bukan program kebohongan....
Minyak Jarak Gorontalo Diminati Korsel
Tanaman jarak memiliki prospek masa depan yang menjanjikan sebagai bahan bakar alternatif untuk menggantikan minyak bumi.
Sebuah perusahaan di bidang perminyakan Korea Selatan, GS Caltex, berminat untuk membeli minyak jarak mentah dari Provinsi Gorontalo. Selain itu, mereka bersedia untuk mendatangkan biomas jagung, padi, tempurung kelapa, dan sabut kelapa sebanyak 6.000 ton per bulan. Ini adalah peluang besar bagi Provinsi Gorontalo.
"Khusus minyak jarak tersebut, tidak ada batasan jumlah yang diminta. Mereka akan membeli seberapa pun yang bisa dihasilkan oleh Provinsi Gorontalo. Kami sedang menyusun kemungkinan itu dan pada bulan Maret nanti akan memberi jawaban kepada investor," kata juru bicara Gubernur Gorontalo, Mansir Mudeng, Minggu (13/2/2011) di Kota Gorontalo.
Selama ini, Provinsi Gorontalo dikenal sebagai pengekspor jagung ke beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Saudi Arabia. Tingginya permintaan jagung dari luar negeri yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun membuat Gorontalo kewalahan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, kemampuan produki jagung hanya sekitar 670.000 ton per tahun.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/13/18495612/Minyak.Jarak.Gorontalo.Diminati.Korsel
Kesimpulan :
1. Sebuah Program yang terkesan atau malah memang "salah urus", sebuah ritual wajib pemerintah. Namun sebagian tulisan yg lain mengungkap betapa sebenarnya program DME ini adalah terobosan "brilliant" di tengah ketergantungan masyarakat thd energi, apalagi sangat terkesan pro-rakyat. Pada titik ini saya sangat surprise dengannya.
Namun ada beberapa yg ganjil dan mengganjal terkait program ini, yg pertama, program ini melibatkan menteri ESDM waktu itu yang memang terkenal tidak "pro-rakyat". Dialah yg melanjutkan RUU Migas (yg digagas SBY waktu menjadi Mentamben pd era Gus Dur), sehingga berhasil menjadi UU Migas yg sekarang yang sangat buruk dan membuat industri Migas tunduk kepada asing.
2. Tujuan program ini adalah membuat desa mandiri energi, pada prakteknya lebih kepada mengandalkan ketergantungan menjual "biji jarak" kepada pihak ketiga, yg kemudian ternyata menghancurkan harga dan rantai supplynya. Jadi tujuannya utk dijadikan komoditas atau membuat desa tidak usah membeli energi?
3. Program ini tidak digunakan utk mensupport potensi lokal yg sdh berjalan dan melengkapi rantai supplynya. Misalnya para Nelayan yg selama ini tergantung solar dan batu-es pada tengkulak, bisa secara bersama memproduksi energi sendiri, entah bi-gas atau bio-fuel.
4.Program ini tidak terlihat dievaluasi secara sungguh2 pada saat ini. Berapa tingkat keberhasilannya diukur dari produksinya maupun impact bagi pemberdayaan potensi lokalnya. Mengapa justru perusahaan asing yg bermnat?
5.Tentu saja, program ini tidak "melibatkan" pendidikan sebagai sentra pemberdayaan yg menjamin keberlangsungan program. Anak2 desa terus saja bersekolah dengan kurikulum "pusat" yg berorientasi Ujian Nasional. Lulusannya adalah kelas pemuda yg tidak memahami potensi daerahnya dan program energi ini termasuk program lainnya. Jadi memang direncanakan untuk tidak sustain alias tidak berlanjut.
6. mungkin lagu dangdut yg lagi hits "alamat palsu" beberapa waktu lalu bisa mulai dinyanyikan rakyat yg merasa bingung.. "dimana... SBY.. dimana.." :-) just kiddingBottom of Form
1. Sebuah Program yang terkesan atau malah memang "salah urus", sebuah ritual wajib pemerintah. Namun sebagian tulisan yg lain mengungkap betapa sebenarnya program DME ini adalah terobosan "brilliant" di tengah ketergantungan masyarakat thd energi, apalagi sangat terkesan pro-rakyat. Pada titik ini saya sangat surprise dengannya.
Namun ada beberapa yg ganjil dan mengganjal terkait program ini, yg pertama, program ini melibatkan menteri ESDM waktu itu yang memang terkenal tidak "pro-rakyat". Dialah yg melanjutkan RUU Migas (yg digagas SBY waktu menjadi Mentamben pd era Gus Dur), sehingga berhasil menjadi UU Migas yg sekarang yang sangat buruk dan membuat industri Migas tunduk kepada asing.
2. Tujuan program ini adalah membuat desa mandiri energi, pada prakteknya lebih kepada mengandalkan ketergantungan menjual "biji jarak" kepada pihak ketiga, yg kemudian ternyata menghancurkan harga dan rantai supplynya. Jadi tujuannya utk dijadikan komoditas atau membuat desa tidak usah membeli energi?
3. Program ini tidak digunakan utk mensupport potensi lokal yg sdh berjalan dan melengkapi rantai supplynya. Misalnya para Nelayan yg selama ini tergantung solar dan batu-es pada tengkulak, bisa secara bersama memproduksi energi sendiri, entah bi-gas atau bio-fuel.
4.Program ini tidak terlihat dievaluasi secara sungguh2 pada saat ini. Berapa tingkat keberhasilannya diukur dari produksinya maupun impact bagi pemberdayaan potensi lokalnya. Mengapa justru perusahaan asing yg bermnat?
5.Tentu saja, program ini tidak "melibatkan" pendidikan sebagai sentra pemberdayaan yg menjamin keberlangsungan program. Anak2 desa terus saja bersekolah dengan kurikulum "pusat" yg berorientasi Ujian Nasional. Lulusannya adalah kelas pemuda yg tidak memahami potensi daerahnya dan program energi ini termasuk program lainnya. Jadi memang direncanakan untuk tidak sustain alias tidak berlanjut.
6. mungkin lagu dangdut yg lagi hits "alamat palsu" beberapa waktu lalu bisa mulai dinyanyikan rakyat yg merasa bingung.. "dimana... SBY.. dimana.." :-) just kiddingBottom of Form